Rabu, 22 Oktober 2008

Sibuta Tukang Pijat

”Manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan.”


Andrianto. Pria berusia 24 tahun itu saya kenal sebagai ahli pijat refleksi. Ia saya temui di salah satu stasiun radio swasta di Kota Singkawang. Waktu itu, Ia selagi asyik memberikan pelayanan pada Adam, salah satu kliennya. Tangannya rancak, mencari titik-titik, dan menekan syaraf pijatan.

Walau memiliki alat penglihatan yang tidak normal, pria kelahiran Jambi ini sangat bersyukur dengan keahlian yang dimiliki. Dengan keterbatasan itu, Ari membuktikan bahwa dirinya bisa bertahan hidup dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki.

Dengan keahlian yang dimiliki, sejak lima bulan yang lalu, pria yang akrab dipanggil Ari bersama seorang ibu, Regina, membuka Yayasan yang diberi nama Cahaya Jubata di Jalan Yohana Godang No 9, kota Singkawang. Yayasan itu merupakan klinik pijat tuna netra yang diasuh langsung oleh Ari.

Kini, dengan keahlian yang dimiliki, Ari bersama kliniknya bisa dikunjungi lima hingga tujuh orang per minggu. Umumnya pasien itu mengeluh masuk angin, pusing (migren), asam urat, keseleo, dan lain-lain.

Tidak hanya memijit di klinik tempat praktek, Ari juga selalu siap dipanggil dimana calon kliennya berada. Tarif yang harus dibayar, tidak terlalu mahal, hanya berkisar Rp. 30.000 sampai Rp. 40.000.

Keberhasila ari sebagai ahli pijit tidak semanis dengan pengalaman hidup yang dilaluinnya. Terlebih saat ia mengenyam pendidikan di tingkat SMP di Kota Jambi, belasan tahun yang lalu.

Ari pernah mendapatkan perlakukan yang semena-mena dari beberapa temannya, yang tergabung dalam satu geng. Air selalu menjadi korban pemalakan.

Suatu saat Ari menolak pemalakan. Atas sikap itu, Ari dikeroyok. Bahkan, bola matanya diolesin balsem. Karena tidak langsung ditangani, mata Ari dinyatakan tidak bisa berfungsi sebagai mana mata normal lagi. Sejak saat itu hidup Ari berubah total. Ari tidak bisa lagi meneruskan sekolahnya lagi.

Ari putus asa. Ari sempat berncana mengakhiri hidupnya dengan meminum obat pembasmi hama sayur. Tuhan berkehendak lain, pembasmi hama tersebut tidak berpengaruh. Atas obat itu, ari hanya merasakan sakit sakit pada tubuhnya. Sejak kejadian itu Ari punya pemikiran dewasa. Hidup sangatlah berarti walau tidak sesempurna dulu.

Beberapa waktu kemudian kebesaran Tuhan datang. Ari mendapatkan perhatian dari seorang tetangga yang prihatin terhadap dirinya. Ari dibawa ke Panti Sosial, Widia Guna, Bandung, Jawa barat.

Dipanti sosial itu, Ari belajar dan menuntut ilmu yang berbeda dari pada sekolah untuk anak-anak normal pada umumnya. Disekolah yang berpenghuni kurang lebih 300 anak itu, Ari diajarkan membaca huruf brailer, selama tiga tahun menuntut ilmu. Ari juga belajar berbagai macam ilmu seperti sekolah-sekolah lainnya, hingga mempelajari ilmu terapy massage refleksi.

Sebelum lulus Ari diwajibkan untuk mempraktekan keahlianya ditempat-tempat yang telah ditentukan dan masih dalam bimbingan tim pengajar. Setelah lulus, mendapatkan sertifikat, serta ijin praktek dari instansi pemerintah, Ari mulai mencari pasiennya sendiri.

Ari sempat bekerja di Jakarta, kemudian bertemu dengan seorang ibu, Regina, yang berkeinginan untuk membuka suatu yayasan yang bertempat di kota Singkawang, Yayasan Cahaya Jubata.

Atas pengalaman hidupnya, Ari berpesan, hadapilah suatu masalah hidup dengan hati dingin dan lapang dada. Karena, setiap ujian pasti ada jalan keluar dan hikmahnya.

Tidak ada komentar: