Rabu, 27 Januari 2010

Harga Kami Cuma Satu Juta Rupiah


Lidia dan Meisin menjadi korban pertama trafficking tahun 2010 yang masuk di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat. Kasus Lidia dan Meisin ini didalangi oleh bibiknya sendiri. Bibiknya dijanjikan akan mendapatkan imbalan sebesar satu juta rupiah.


Oleh: Mujidi*

Malaysia. Nama Negara yang bertetangga langsung dengan Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia ini membuat galau dua remaja putri yang tinggal di rumah Sri. Rumah itu terletak di Jalan Gajah Mada, Kampung Baru, Kelurahan Sijangkung. Kampung yang terletak di Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.

Rasa itu memuncak pada suatu malam. Suasana yang semakin larut tidak dapat menenangkan kegalauan yang mereka rasakan. Mereka menguatkan diri. Sekitar pukul 20.00, mereka kabur melalui pintu belakang.

Di perjalanan kabur, keduanya bertemu dengan masyarakat yang kemudian mengantarkan mereka ke Polsek Singkawang Selatan. Setelah mengalami pemerikasaan, pada sore hari keesokan harinya, keduanya diantar dan ditampung di Shelter LKBH PeKa Kalimantan Barat di Singkawang.

Dua remaja putri itu bersepupu. Masing masing bernama Lidia Ayang (17) dan Meisin (14). Mereka kabur karena Sri berencana akan membawa mereka ke Malaysia sebagai tenaga kerja. Belakangan diketahui, Sri merupakan rekanan bibik mereka sendiri, Vina.

Aksi dua putri ini dilakukan pada Senin malam, tanggal 11 Januari 2010. Aksi itu dilakukan sebelum keduanya diberangkatkan ke Malaysia pada Selasa dini hari. Keduanya akan berangkat menggunakan bis dari Kota Singkawang menuju Malaysia, melalui Entikong.

Kaburnya Lidia dan Meisin menjadi awal cerita terungkapnya kasus trafficking serta kekerasan pada anak diawal tahun 2010.

***
Selasa (12/1). Paginya sekitar jam sembilan. Tidak begitu cerah. Matahari terbungkus awan tak begitu hitam. Sesekali hujan gerimis turun. Lidia Ayang, Rosita Ningsih, Meisin, duduk berbaris pada kursi-kursi di sebuah pondok kecil. Pondok beratap daun dan tanpa dinding.

Pondok itu terletak di Belakang Shelter Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Perempuan dan Keluarga (Peka) Kalimantan Barat. Shelter itu milik Rosita Ningsih.

Tiga orang perempuan ini di kelilingi tujuh wartawan daerah dan nasional. Mereka adalah Ari (RRI), Jack (Trans TV), Ody (Pontiaak Post, Ova (Equator), Hermanto (TVR), Hendra dan Jamadin (Tribun Pontianak), dan saya Mujidi dari Borneo Tribune.

“Mujidi bu dari Borneo Tribune,” saya bersalaman dan memperkenalkan diri pada Rosita Ningsih. Perkenalan juga dilakukan teman lainnya.

Pagi itu, wajah Lidia tidak begitu ceria. Tidak seceria baju kaos putih yang ia gunakan. Wajahnya terus saja tertunduk. Dia seakan hanya ingin menatap lantai papan. Matanya berkaca-kaca, Lidia menangis. Kontras dengn Meisin. Dia sesekali melemparkan senyum ke arah orang orang yang mengelilinginya. Sebagai orang yang mendampingi, Rosita Ningsih tampil begitu rapi. Pakaian serba ungu digunkannya pada pagi itu.

“Silahkan diwawancara. Saya memperbolehkan karena saat ini mereka menjadi tanggung jawab saya,” kata Rosita membuka pembicaraan.

Pertanyaan pertanyaan pendek dilontarkan wartawan. Pertanyaan itu terlebih dahulu diarahkan pada Lidia. Bila dirangkung, semua pertanyaan itu terkait denga kronologis kasus yang ia alami sebagai korban trafficking.

Lidia mulai bercerita. Lidia menjawab seadanya. Seakan menirukan pertanyaan yang didapat, Lidia juga menjawab dengan kata yang pendek-pendek. Lidia tercatat sebagai warga Kabupaten Kapuas Hulu. Di sana ia tinggal bersama kedua orang tua dan lima saudaranya di Dusun Jongkong RT 01 Kelurahan Jongkong Kecamatan Bika.

Lidia meninggalkan rumah orang tuanya pada tanggal 4 Januari. Ia meniggalkan rumah Bersama Deris. Deris paman Lidia. Abang kadung sang ayah. Oleh Deris, Lidia dijanjikan untuk bekerja di Singapura.

”Saya ikut paman karena orang tua ngizinkan,” kata Lidia.

Gadis yang hanya tamat Sekolah Dasar ini meninggalkan rumah bersama Deris sekitar pukul 08.00 pagi. Mereka beranggkat menggunakan bis. Pada malam harinya, Lidia bersama Deris sampai di Mandor.

Mandor merupakan Kota kecamatan di Kabupaten Landak. Rumah yang dituju Deris dan Lidia di Mandor adalah Rumah Deris sendiri. Di rumah pamannya itu, Lidia tinggal selama dua hari.

Pada hari ke tiga, Lidia berangkat ke Kota Singkawang. Kali ini, dia bersama Sri warga Singkawang dan memilki sebuah rumah di sana. Dan di rumah Sri ini Lidia akan menginap. Sri juga yang bakal membawa Lidia ke Malasysia.

Dari Sri, Lidia baru mengetahui bahwa dia akan diberangkatkan ke Malaysia. Awalnya, Sri meminta pada Lidia untuk menyiapkan semua persyaratan membuat paspor. Kemauan Sri ditolak Lidia. Sri memaksa.

“Saya disuruh bikin paspor. Saya tidak mau, tapi dipaksa,” kata Lidia.

Lidia sempat bertanya kepada Sri manfaat tentang penggunaan paspor itu. Sri tidak mau menjawab, Lidia menangis.

“Karena saya nangis, mereka baru bilang paspor itu untuk bekerja di Malaysia,” terang Lidia.

Lidia menangis lagi. Lidia minta pulang ke kampung halamannya. Keinginan Lidia di tolak Sri. Lidia kemudian menelpon Deris di Putusibau. Katanya, Deris akan melaporkan tindakan Sri itu ke Polisi.

“Saya takut pergi sama orang tak dikenal. Mau bilang sama om Deris, tapi tidak berani,” kata Lidia.

Senin malam (11/1), rasa takut Lidia semakin menjadi. Terlebih pada Selasa dini hari, dia akan diberangkatkan ke Malaysia. Dengan tekad yang kuat, Lidia memilih jalan untuk melarikan diri dari rumah.

”Lalu saya kabur lewat pintu belakang rumah ibu Sri. Itu sekitar jam delapan malam,” cerita Lidia.

Kalau awal cerita Lidia ke Malaysia atas ajakan pamannya Deris untuk ke Singapura. Cerita akan perginya Meisin berawal dari pertengkarannya dengan ibu yang melahirkannya.

Meisin tidak mengetahui persis hari pertengkarannya dengan sang ibu. Pertengkaran itu karena ibunya tidak memperbolehkan dia untuk berpacaran. Peristiwa itu terjadi di rumah yang mereka tinggali bersama di RT 04 RW 06, Setebar, Kecamatan Mandor Kabupaten Landak.

”Mamak marah saya pacaran. Katanya karena saya masih sekolah,” kata Meisin yang baru duduk di kelas satu pada sebuah SMA di Mandor.

Meisin kemudian minggat ke rumah kakek. Di rumah kakek, dia bertemu dengan Vina. Pada Vina, Meisin menceritakan masalahnya. Oleh Vina, Meisin di ajak ke Malaysia. Di sana Meisin akan dipekerjakan di sebuah Salon.

”Asal bisa minggat, saya mau saja,” kata Meisin.

Vina adalah bibik Meisin dari garis ibu, Vina juga istri dari Deris.

”Mamak tidak tahu kalau bibik mau bawa saya ke Malaysia,” terang Meisin.

Kemudian, Meisin bersama Vina berangkat ke Singkawang. Tujuan mereka adalah rumah Sri yang terletak di Sijangkung. Untuk berangkat ke Malaysia, Meisin sudah mempersiapkan segalanya, termasuk paspor.

“Saya sudah ada paspor. Karena saya pernah pergi ke Malaysia (Kuching).”

Namun keinginan Meisin untuk berangkat ke Malaysia itu diurungkan. Niat yang sebelumnya kuat, menghilang. Perasaan untuk minggat itu berubah ingin pulang ke kampung halaman.

”Saya ndak jadi pergi karena liat kak Ayang menangis dan minta pulang.” kata Meisin.

”Sayapun ikut kak Ayang lari,” aku Meisin.
“Kami lari lewat pintu belakang,’ ujar Meisin menjelaskan.

***

Lidia dan Meisin untuk sementara waktu tinggal di Shelter LKBH PeKa. Mereka akan meninggalkan Shelter itu bila kedua orang tua msing masing atau pihak keluarga lainnya Menjemput.

Lidia dan Meisin tidak sabar lagi menunggu jemputan. Keduanya merasakan sangat rindu untuk bertemu kedua orang tua, dan juga kakak dan adik yang ditinggalkan. Terlebih, jauh dari orang tua itu bari kali pertama dirasakan.

”Rindu bang dengan mamak dan bapak.”

”Baru ini saya jauh dari mamak, Saya ndak mau lagi, saya mau kerja di kampung jak,” kata Lidia berulang-ulang.

Karena rindunya sama orang tua, wajah sang ibu selalu terbayang. Bayangan itu semakin dekat saat akan tidur malam.

”Saya seperti lihat mamak. Saya sangat rindu,” katanya lagi.

Bukan hanya dengan ibu dan ayah, rindu kepada adik dan kakak juga dirasakan. Terlebih adiknya itu baru berusia empat tahun dan sedang lucu-lucunya.

”Adik saya paling kecil baru empat tahun, saya rindu dengan dia,” ujar Lidia.

Rasa ingin pulang dan rindu sama orang tua juga dirasakan Meisin. Meisin berkali-kali menjawab dengan kata kangen dan diiringi anggukan kecil.

“Saya kangen sama mamak.”

Meisin tidak mau berpisah dengan orang tuanya. Karenanya Meisin berjanji tidak akan berpacaran. Itu akan ia lakukan apabila ibunya memberikan izin.

”Tunggu kalau mamak bilang boleh,” kata Meisin.

Dari kejadian yang menimpanya itu, Meisin dan Lidia sama-sama merasa jera. Keduanya seakan sepakat untuk mengatakan tidak mau bila diajak untuk bekerja di luar negeri.

”Kapok bang,” kata Mereka hampir bersamaan.

***

Polisi bertindak cepat. Berdasarkan keterangan Lidia dan Meisin, pencarian terhadap calon tersangka dilakukan.. Hasilnya, dalam waktu tiga hari, dua tersangka diamankan mereka adalah Sri (40) dan Vina (49). Sri ditangkap pada 11 Januari. Sementara Vina datang menyerahkan diri ke Polisi pada dua hari kemudian.

Di Polsek Singkawang Selatan, kami hanya bisa menemui Vina. Untuk Sri sudah dititipkan di Lapas Kelas II B Kota Sngkawang.

Saat kami temui di ruangan Kapolsek Singkawang Selatan, Vina begitu tenang. Kepala, punggung, serta pinggangnya tegak mengikuti sandaran kursi pelastik berwarna hijau yang ia duduki pada siang itu, Rabu (13/1).

Kedua matanya acap kali dipejamkan. Terkadang ia diam. Dia seakan-akan tidak mendengar apa yang ditanyakan padanya.

”Tanyakan jak ke suami saya.”

Itulah salah satu jawaban yang Vina sampaikan saat kami bertanya prihal yang terjadi pada Lidia Ayang. Suami yang dimaksud Vina adalah Deris. Deris paman Lidia. Deris yang membawa Lidia dari Putusibau ke Mandor.

Pembicaraan soal Lidia mentok. Selanjutnya, pembicaraan kami arahkan ke Meisin. Korban yang langsung ditangani Vina.

”Meisin keponakan saya,” kata Vina menjelaskan.

Vina membawa Meisin atas persetujuan orang tua Meisin sendiri.

“Mamaknya bilang, bawa jak ke Malaysia,” kata Vina menirukan perkataan ibu Meisin.

Kata Vina, restu orang tua untuk membawa Meisin berawal dari pertengkaran yang terjadi antara Meisin dengan ibunya. Karena pertengkar itu, Meisin kabur ke rumah tetangganya. Dan tentangganya itu adalah kakeknya Meisin sendiri.

”Di rumah kakeknya itu saya bertemu dengan dia,” kata Vina menjelaskan awal pertemuannya dengan Meisin.

Perteuannya dengan Meisin membuat Vina teringat dengan bosnya di Malaysia. Bosnya itu minta dicarikan tenaga kerja wanita untuk diperkerjakan di sebuah pabrik roti.

”Saya mau Meisin yag menggantikan saya kerja di sana. Saya sudah bekerja sejak tiga tahun yang lalu,” ujar Vina.

Vina mengaku, Meisin bersedia dengan pekerjaan yang dia tawarkan.

”Kerja di sana, dia akan mendapatkan gaji sebesar 500 sampai 700 ringgit perbulan,” kata Vina menyebutkan besaran gaji yang bakal diteriman Meisin.

Karena Meisin bersedia. Vina kemudian membawa Meisin ke rumah Sri di Singkawang. Bersama Sri inilah nantinya Meisin bersama Linda akan berangkat ke Malaysia.

”Dia akan berangkat bersama ibu Sri, karena ibu Sri ingin berangkat ke Malaysia,” kata Vina menjelaskan.

Bila berhasil merekrut tenaga kerja, Vina akan mendapatkan imbalan. Imbalan itu akan ia peroleh bila Lidia dan Meisin telah sampai ke Bos atau Tauke yang meminta.

”Saya mendapatkan imbalan sebesar satu juta rupiah. Imbalan itu akan dititipkan melalui ibu Sri,” terang Vina.

Vina menolak bila dituduh menjual keponakan. Dia bahkan mengaku tidak mengetahui bahwa tindakannya telah melanggar aturan.

”Saya tidak tahu kalau ini salah,” katanya.

Selama ini Vina berpikir hanya ingin membantu perekonomian keluarga. Vina berpikir bagaimana mencarikan kerja untuk orang yang membutuhkan.

”Dari pada nganggur di rumah, lebih baik kerja di Malaysia,” kata Vina lagi.

Vina juga menolak bila dia dituduh berniat mempekerjakan keponakannya di sebuah Salon di Malaysia.

”Itu tidak banar. Saya ingin kerjakan dia di pabrik, bukan di Salon,” Vina menyampaikan bantahannya.

***
Apa yang dikatakan Vina soal tempat pekerjaan yang akan diberikan pada Lidia dan Meisin bertentangan dengan keterangan Sri.

Sri saya temui di ruang pemeriksaan Lapas Kelas II B Kota Singkawang, Senin (18/1). Wajahnya terlihat pucat dengan sorot mata yang begitu lemah.

“Saya baru habis sakit. Badan saya baru terasa nyaman dalam satu hari ini,” kata Sri memberikan penjelasan.

Sri mengatakan, Lidia dan Meisin merupakan titipan Vina. Vina meminta Lidia dan Meisin untuk dibawa ke Malaysia.

“Dua anak itu keponakan Vina. Vina minta bantuan saya untuk membawanya. Karena kebetulan, saya juga rencananya akan Malaysia,” kata Sri memberikan penjelasan. Sri sendiri mengaku telah bekerja di Malaysia kurang lebih tiga tahun sebagai ibu rumah tangga.

“Sampainya di Malaysia, Vina meminta saya menyerahkan Lidia dan Meisin kepada bosnya,” kata Sri.

Menurut Sri, Vina meminta untuk menyerahkan Lidia dan Meisin ke seorang ‘bos’ dan akan dipekerjakan di sebuah Salon. Dan di Salon itu, kedua anak tersebut akan mendapatkan gaji masing masing 500 ringgit.

Sri mengatakan, Vina juga meminta bantuannya untuk mengurusi segala pembiayaan untuk pemberangkatan ke Malaysia. Semua itu dihitung kemudian apabila sang anak sudah sampai ke tanagn bos yang dimaksud Vina.

‘Untuk biaya, kemungkinan akan menghabiskan dana sebesar seribu ringgit, mulai dari biaya paspor dan transportasi hingga ke tempat tujuan,” jelas Sri.

“Dari seribu ringgit itu, saya rencananya akan memberikan ke Vina sebesar satu juta rupiah,” ujar Sri.

Tapi, perhitungan biaya transfortasi dan imbalan untuk Vina gagal dipenuhi karena dua anak yang akan dibawa ke Malaysia keburu melarikan diri.

“Saya belum dapat apa apa. Untuk mengurus dua anak itu saya telah menghabiskan biaya sebesar satu juta rupiah,” kata Sri.

Khusus untuk Meisin, Sri mengaku telah mendapatkan persetujuan dari kedua orang tua korban. Persetujuan itu Sri dapatkan melalui pembicaraannya di telepon genggam, dan bertemu langsung dengan ayah Meisin yang datang ke Kota Singkawang.

“Saya pernah berbicara langsung dengan ibu Meisin. Dan ibunya bersedia agar Meisin di bawa ke Malaysia. Di Singkawang saya ketemu bapak Meisin. Dan bapaknya juga menyetujui bila Meisin dibawa ke sana,” jelas Sri.

Kata Sri, persetujuan orang tua untuk membawa Meisin itu bertujuan untuk mendidik Meisin sendiri. Kata Sri, oleh orang tuanya, Meisin dianggap anak yang nakal dan suka membantah orang tuanya sendiri.

“Bawa jak ke Malaysia. Biar dia bisa belajar. Sebulan kemudian, kami akan melihat dia ke sana,” kata Sri menirukan perkataan ayah Meisin.

***
Pria itu duduk tenang di kursinya. Baju kebesaran kepolisian yang melekat di badan membawa pria itu tampil beda di ruangan. Dia adalah Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suhar.

Saya bersama rekan lain menemuinya di sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter pada Rabu (13/1). Ruangan itu ruang kerjanya sebagai Kapolsek Singkawang Selatan.

”Ada apa ini ramai-ramai,” katanya menyambut kedatangan kami

”Konfirmasi masalah kemarin, masalah trafickiking, Dan,” kami menjelaskan. Trafficking merupakan satu dari sembilan atensi Polri yang harus ditangani semua jajaran kepolisian.

Setelah semua siap. Kami siap dengan peratalan kami masing-masing sebagai wartawan, dan AKP Suhar siap dengan berkas hasil penyelidikan. Perbincangan berupa wawancara ituun dimulai.

”Dalam kasus ini, kami telah menahan dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Dia adalah Sri dan Vina,” kata Suhar membuka pembicaraan.

Untuk tersangka Sri telah kita titipkan di Lapas Kelas II B Kota Singkawang. Sementara untuk Vina, sementara waktu masih di tahan di Polsek Singkawang Selatan.

”Untuk Vina ada di sini, silahkan di wawancara nanti,” kata Suhar memperjelas.

Kaplosek mengatakan, penangkapan dua tersangka itu tidak terlepas dari peran masyarakat yang menginformasikan kepihak kepolisian.

“Kita akan tetap proses sesuai aturan yang berlaku,” jelas Suhar.

Suhar menegaskan, kepolisian akan tetap berkomitmen terhadap kasus yang menjadi atensi Kapolri. Kapolsek juga mengimbau kepada masyarakat,

Suhar menerangkan, dua tersangka itu akan dijerat UU nomor 21 tahun 2007 tentang trafficking. Ancaman hukuman 3 sampai 15 tahun penjara dan denda Rp. 120 juta hingga Rp 600 juta. Tersangka juga dikenakan UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, karena keduanya masih di bawah umur

”Untuk korban, sementara waktu telah kita titipkan di Shelter LKBH PeKa. Keduanya dalam dampingan ibu Rosita Ningsih,” jelas Suhar.

Direktur LKBH PeKA Singkawang, Rosita Ningsih, mengatakan siap untuk mendapingi korban, Lidia dan Meisin.

”Kami siap mendampangi korban hingga perkara ini digelar di persidangan,” kata Rosita menjelaskan.

Rosita mengaku, banyaknya pengungkapan kasus trafficking di Singkawang merupakan hasil kerja pihak kepolisian. Rosita berharap, kinerja baik polisi itu dapat ditiru pihak pengadilan.

”Jangan sampai hukuman untuk tersangka begitu ringan. Kita akan giring dari kepolisian sampai ke pengadilan,” kata Rosita.

“Sebagian besar, keputusan kasus trafficking di Singkawang tidak memuaskan,” terang Rosita.

Rosita menegaskan, kasus yang dilamami Lidia dan Rosita masuk dalam kategori tindak pidana trafficking. Kasus Lidia dan Meisin ini merupakan kasus pertama untuk tahun 2010.

“Ini yang pertama kalinya pada tahun 2010 di Singkawang,” kata Rosita.

Menurut dia, dengan adanya dua korban ini, maka jumlah korban yang ditampung di Shelter menjadi delapan orang.

“Tiga diantaranya masih sekolah,” terang Rosita.

Rosita mengatakan, untuk tahun 2009 lalu, LKBH PeKa telah menangani sebanyak 65 kasus di wilayah Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang, dan Kabupaten Sambas. Kasus kasus itu semua terjadi pada wanita. Dan sebagian besar adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

***
Kasus yang dialami Lidia dan Meisin membuat risih perempaun satu ini. Dia saya temui di ruang kerjanya. Nada bicaranya penuh dengan semangat keibuan. Halus dan terdengar bijaksana. Perempuan itu adalan Bona Ventura. Dia adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana di Pemerintahan Kota Singkawang.

“Kasihan mereka. Mereka harus kita tolong,” kata Bona menanggapi kasus yang telah tersebar melalui media itu. Bona kami temui di ruang kerjanya, Senin (18/1).

‘Ini kasus trafficking pertama pada tahun 2010 yang terjadi di Singkawang. Juga yang pertama di Kalimantan Barat,” ucap Bona.

Pencegahan dan penghapusan trafficking telah menjadi tanggungjawab bersama. Dengan kebersamaan, permasalahan itu akan mudah untuk diselesaikan.

“Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kami dari Pemerintah harus berada di depan,” tegas Bona.

Upaya untuk penghapusan trafficking terus dilakukan. Diantaranya dengan gencar melakukan sosialisasi ke seluruh masyarakat. Sosialisasi itu berupa seminar dengan mengundang beberapa elemen.

“Dalam sosialisasi itu juga dipaparkan Undang Undang yang mengatur trafficking dan Undang Undang perlindungan anak. Dalam sosialisasi itu kita juga menyampaikan sanksi yang akan diterima oleh pelaku trafficking,” terang Bona.

Bukan hanya sosialisasi. Untuk mendukung penghapusan trafficking di Kota Singkawang, Walikota Singkawang mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 72 Tahun 2009, Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak ( P2TP2A).

Kata Bona, pengurus P2TP2A itu diantaranya bertugas untuk menfasilitasi perempuan dan anak dalam upaya meningkatkan kemampuan, keterampilan perempuan. Melakukan pemantauan dan konseling bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan. Melakukan pelayanan medis, medicologi, pendampingan, perlindungan psicososial dan hokum bagi perempuan dan anak korban dari tindak kekerasan. Serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan.

“Kami merasa sosialisasi dan pembentukan P2TP2A tidak cukup untuk penghapusan trafficking. Karenanya kami merumuskan beberapa program prioritas untuk tahun 2010,” kata Bona.

Langkah prioritas yang akan dilakukan Bona adalah dengan mengajukan draf Raperda Trafficking ke DPRD Kota Singkawang. Diharapkan Draf itu disetujui dan disahkan menjadi Perda pada tahun pengajuan.

“Kami berharap, draf Raperda itu ditanggapi serius oleh DPRD untuk disahkan menjadi Perda,” ujar Bona.

Perda trafficking dimaksudkan untuk menjadi dasar yang kuat untuk penghapusan trafficking di Kota Singkawang. Dengan Perda itu, para pelaku trafficking menjadi jera.

“Selain berdasarkan UU Nomor 21, kita berharap Perda trafficking menjadi salah satu dasar bagi kita untuk menjerat pelaku trafficking dengan hukuman setimpal,” terang Bona.

Dengan adanya Perda itu, Bona berpandangan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya akan mengalami penurunan. Menurut Bona, berdasarkan data yang ia terima, angka kekerasan terhadap perempuan di Singkawang mengalami penurunan. Kekerasan teradap perempuan itu meliputa, Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), Trafficking, Kekerasan terhadap Peempuan, dan Kekerasan Terhadap Anak.

Bona perpegang pada data tiga lembaga. Untuk data pertama ia peroleh dari Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM) Kalimantan Barat. FKPSM mencatat, data kekerasan pada perempuan di tahun 2007 sebanyak 99 kasus. Untuk tahun 2008, organisasi yang dipimpin Maya Satrini ini mencatat terjadinya penurunan, yakni 97 kasus. Khusus untuk kekerasan pada anak, FKPSM mencatat pada tahun 2008 terjadi 16 kasus.

Data dari LKBH PeKa Kalimantan Barat juga mencatat angka kekerasan terhadap perempuan juga mengalami penurunan setiap tahunnya. Tahun 2007 terjadi 99 kasus, tahun 2008 sebanyak 96 kasus, 2009 sebanyak 35 kasus. Untuk tahun 2010, baru terjadi dua kasus. Dua kasus pada 2010 itu masuk dalam katagori kekerasan terhadap anak.

Bila pada dua lembaga itu mencatat terjadi penurunan, data berbeda malah di tujukkan Polres Kota Singkawang. Kata Bona, Dari data kepolisian yang ia peroleh hingga tahun 2008, jumlah kekerasan pada perempuan mengalami peningkatan. Data Polres menunjukkan, kekerasan pada perempuan tahun 2007 sebanyak 14 kasus, dan tahun 2008 sebanyak 88 kasus. Dari kepolisian ini tidak diketahui berapa banyak kasus yang masuk kategori kekerasan pada anak.

Dari data tersebut, Bona menilai Kota Singkawang merupakan kota yang setrategis. Kota yang menghubungkan dengan beberapa daerah lain, seperti Landak, Bengkayang, dan Sambas. Dari Kota Pontianak, jarak ke Kota Singkawang hanya berkisar 180 Km. Kota Singkawang juga sebagai kota yang cukup dekat dengan daerah perbatasan, seperti PLB Aruk di Sambas dan PLB jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang.

‘Karena setrategis itu, Kota Singkawang dijadikan transit bagi para pelaku trafficking untuk mengamankan korbannya. Dari Singkawang, para korban baru di bawa ke Negara tujuan,” ujar Bona.

Selain jarak yang dekat dengan perbatasan, dari segi fasilitas, Bona menilai Kota Singkawang sangat lengkap. Fasilitas itu berupa hotel dan wisma penginapan.

“Fasilitas ini membuat aman pelaku membawa calon korban,” ujar Bona.

Rini Asmara Dewi, anggota Komisi A DPRD Kota Singkawang ini memandang positif terhadap sosialisasi trafficking yang dilakukan Badan Pemberdayaan Perempuan Kota Singkawang.

“Kita menilai itu baik, tapi kurang maksimal,” komentar Rini dengan pengecualian.
Menurut Rini, sosialisasi yang dilakukan Badan Pemberdayaan perempuan selama ini hanya menyentuh masyarakat kalangan atas. Sosialisasi itu tidak menyentuh masyarakat kalangan bawah.

“Sebaiknya sosialisasikan pada masyarakat kalangan bawah, karena kasus trafficking banyak menimpa masyarakat bawah itu,” terang Rini. Masyarakat kalangan bawah yang dimaksud Rini itu adalah masyarakat miskin harta dan masyarakat miskin ilmu pengetahuan.

Di luar maksimal atau tidaknya sosialisasi yang dilakukan, Rini mendukung sepenuhnya rencana pengajuan Raperda Trafficking yang akan diusulkan Badan Pemberdayaan Perempuan.

“Kita dukung rencana Raperda itu. Raperda itu menjadi dasar yang kuat untuk menjerat pelaku trafficking,” kata Rini mempertegas.

Penghapusan trafficking juga diserukan Sumian. Anggota DPRD yang duduk di Komsisi A ini menilai trafficking menjadi modal hidup untuk para pelakunya. Katanya, para pelaku berkedok mencari pekerjaan untuk korban yang diincarnya.

“Korban yang mereka incar adalah mereka yang kurang mampu dan berpendidikan rendah,” kata Sumian.

Untuk memperkecil, bahkan menghapus trafficking itu, Sumian berpandangan pemerinah harus gencar melakukan sosialisasi. Senada dengan Rini, Sumian berharap sosialisasi diutamakan untuk warga yang berada di pelosok atau pedalaman.

“Yang penting mereka yang dipedalaman. Informasi tentang trafficking itu harus sampai kepada mereka,” terang Sumian.

Sumian mengingatkan, untuk menghapus trafficking itu, semua kalangan harus bekerja sama. Kalangan itu mulai dari masyarakat biasa, organisasi masyarakat, kepolisian, serta komitmen Pemerintah.

“Bila semua memegang komitmen bersama, menurut saya, trafficking itu dapat dihapus,” kata Sumian menutup pembicaraan. *Tulisan ini telah dimuat di Borneo Tribune, 24 Januari 2010.
























Baca Selengkapnya...

Minggu, 31 Mei 2009

Tarian Narokng dan Tembakan Rantako


Matahari telah naik begitu tinggi. Rumput telah kering dari siraman embun tadi pagi.
Masyarakat keluar rumah, dan bersibuk dengan aktivitasnya masing masing. Mereka begitu ceriah dengan dinaungi langit biru berhiaskan sedikit awan putih.


Suasana ceria itulah yang tergambar di lapangan terbuka di Keluarahan Bagak Sahwah. Sejak pagi, masyarakat berkerumun bersama di sana, di sebuah rumah panjang. Rumah kayu dengan beragam lukisan dan ukiran.

Rumah itu bernama Rumah Parauman Adat (RPA). Rumah ini milik masyarakat adat Dayak Binuo Garatung Singkawang. Masyarakat dari sub adat Dayak Salako. Di rumah itu akan digelar sebuah ritual adat.

“Hari ini kita akan menggelar ritual Ngamau Benih Padi,” kata Ketua Data Binuo Garatungk Singkawang, Simon Takdir.

Dalam adat Dayak Salako, Ritual Ngamau Benih Padi biasa dilakukan pada akhir bulan Mei. Atau satu hari sebelum ritual Ngabayotn, yang dilaksanakan pada tanggal satu bulan Juni.

Nagmau Benih padi bearti menyambut kedatangan benih padi. Benih padi itu akan didoakan olah para pelaku adapt adapt bersama masyarakat agar mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa (Jubata). Untuk didoakan, benih padi itu di bawah ke halaman RPA.

Sebelum penyambutan benih padi (Ngamau Banih Padi), sehari sebelumnya, masyarakat Bino Garatung telah melakukan ritual Ngaap Banih Binuo. Riatual penjembutan benih dari daerah daerah tempat masyarakat dayak bermukim. Rute daerahnya, Mayasopa, Pasar Pakucing, Sendoreng, Rantau, Sibaju, Sagatani, Habang, Sanggau Kulor, Pajintan, Poteng, Taenam, Nyarungkop.

Kemudian semua banih yang telah dijemput itu kemudian dimasukkan dalam Angko. Angko adalah rumah kecil yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benih padi yang telah diperoleh melalui ritual Ngaap Banih Bino. Rumah itu terbuat dari kayu, beratapkan daun.

***
Dari jauh, terlihat belasan orang penari menyelusuri jalan memasuki lapangan tempat RPA didirikan. Langkah kaki berirama bersama liukan tangan yang gemulai. Wajah berhiasan senyuman. Tidak bosan bila dipandang.

Dengan jarak tempuh lebih dari seratus meter. Para penari itu tidak terlihat letih. Padahal para penari itu tidak lagi muda. Bila diterka, umar mereka di atas tiga puluh atau empat puluh tahun. Para pernari itub terdairi dari kaum wanita dan pria.

“Tarian ini oleh kami diberi nama tarian Narokng,” kata Hendri, salah seorang masyarakat dayak yang tegabung dalam Binuo Garatungk.

Tarian Narokng bertujuan untuk mengiringi Angko yang dibawa oleh penari pria. Angko itu kemudian diletakkan di halaman RPA. Di atas RPA, telah bersiap para pemuka adat yang bertugas untuk memanjatkan doa. Di natara orang itu terdapat beberapa barang untuk pemujaan, seperti ayam, arak, tuak, cucur, lemang, dan beberapa barang laiinya.

Belum selesai pemanjatan doa dilakukan, beberapa meter dari lokasi terdengar ledakan. Walau tidak begitu besar, suaranya cukup mengganggu pendengar walau sesaat. Suara itu bersal dari mulut meriam berbentuk kecil yang sengaja dinyalakan.

‘Ledakan itu sebagai petanda bahwa pemanjatan doa telah dilakukan. Itu namanya tembakan Rantako,” kata Hendri lagi.

Dengan suara tembakan Rantako, ritual adapt telah selesai. Dengan acara itu, masyarakat adat optimis dengan musim tangan yang akan datang. Doa terpanjat, dengan harapan, Jubata memberkahi penanaman.

Baca Selengkapnya...