Jumat, 24 Oktober 2008

Hidup Dengan Ukiran Kayu



“Bukan hanya untuk keindahan, Seni ukir kayu merupakan keahlian peninggalan leluhur suku Dayak yang harus dipertahankan.”


Nama pria itu Mul. Orang mengenalnya Mul Tato. Ia warga Bengkayang. Ia saya temui di salah satu stand pameran menyambut HUT RI ke 63 saat berjibaku dengan kayu dan menjadi sorotan warga. Ia hanya menggunakan baju kaos dalam berwarna coklat. Kulitnya yang berwarna sawo matang terlihat begitu terang saat diterpa sinar lampu. Pada dua bahunya terlihat tato bercirikan etnis dayak, begitu juga dengan ikat kepalanya yang dihiasi bulu-bulu burung.

“Saya orang Bengkayang, tinggal sebelum gunung Mandereng. Saya orang Dayak,” ujar Mul membuka diri, saat saya menghampinya.

Dengan rokok yang lekat dibibir, Mul duduk bertengger di atas kayu dengan ukuran panjang sekitar dua meter. Ia juga menghadap sebatang kayu dengan ukuran lebih kecil. Kayu itu berhias dengan berbagai ukiran.

“Setiap ukiran yang dibuat pada kayu ini mengandung arti,” kata Mul.

Cukup satu kata. Mul kembali melanjutkan pekerjaannya. Sebuah palu beserta pahat menjadi teman setia di malam itu. Satu, dua, tiga, pukulan diberikan. Pahat tertancap, daging kayu pun tanggal. Perlahan-lahan satu persatu garis ukiran tercipta.

“Ukiran yang belum jadi ini burung enggang,” kata Mul menunjukkan ukiran yang telah dirancangnnya. Untuk menjadikan ukiran utuh, waktu yang diperlukan bisa berhari-hari, tergantung jenis ukiran yang dibuat. Jenis dan besar kayu yang akan diukir.

“Kalau sebesar kayu ini, setidaknya tiga hari,” kata pria itu sebari menujukkan kayu yang didukinya. Kayu berdiametr 20 centi meter, jenis belian atau ulin.

Mul bekerja sebagai seniman ini sudah bertahun-tahun. Mul sudah kemana-kemana. Mul sering mengikuti pameran. Termasuk di Kota Pontianak.Pada stand itu, Mul tidak sendirian. Ia bersama enam pekerja seni lainnya yang bersepakat untuk berkumpul dalam satu perkumpulan. Perkumpulan Pakomo’an Seniman Bengkayang, namanya.

“Artinya perkumpulan seniman Bengkayang,” kata Mul menjelaskan. Dengan perkumpulan yang dicipatakan. Pameran stand di Bengkayang merupakan kegiatan pertama yang diikuti kelompoknya.

“Sebelumnya kami hanya tampil sendiri-sendiri dengan membawa nama sendiri. Kalau sekarang kami bergabung dan membawa nama perkumpulan bersama,” jelas Mul.

Mul mengaku, keahliannya dalam membuat ukiran di atas kayu tidak semahir dengan rekannya, Petrus. Saat itu, pria yang disebutnya duduk tepat di depan kami berdua. Penampilan Petrus tidak jauh beda dengan Mul. Berikat kepala berbulu burung, dan mempunyai bayak tato di tangan. Ia menggunakan baju berwarna merah bercorak khas Suku Dayak.

Dengan rokok di bibir, Petrus khusu’ membuat ukiran di atas kayu ulin yang dihadapinya. Dengan beragam jenis pahat, petrus terlihat sedang membuat wajah manusia.

Tidak hanya dengan mata terbuka, pria kelahiran tahun 1949 tersebut lihai dalam membuat ukiran dengan mata tertutup. Mata-mata pahat tidak meleset dari garis-garis ukir yang telah ditentukan. Dengan mata tertutup, Petrus dapat menebak barang-barang apa yang dibawa atau digunakan para warga yang menontonnya.

“Kamu pakai sandal jepit warnanya kuning kan. Kamu bawa kodakkan,” kata Petrus mengarahkan telunjukkan pada saya. Saya kaget. Saya diam. Karena barang-barang yang disebutkan Petrus adalah barang-barang yang saya bawa saat itu.

Untuk membuat orang percaya, dengan mata tertutup, Petrus kembali menyebutkan warna pakaian yang digunakan seorang gadis yang sedang berdiri dihadapannya. Petrus menyebutkan motif pakaian gadis itu. Gadis itu tersenyum, karena apa yang dikatakan Petrus benar adanya.

Untuk menguji kecermatannya, Petrus kembali menyapa seorang bapak. Petrus mengatakan bapak tersebut menggunakan baju hitam. Sama seperti saya dan gadis sebelumnya, bapak itu hanya bisa diam dan tersenyum karena apa yang dikatakan Petrus benar.

Keahlian Mul dan Perus telah melekat sejak ia berusia belasan tahun. Keahlian itu telah mendarah daging. Karenanya, Mul dan Petrus bertekad untuk memelihara dan menurunkan keahlian itu pada generasi berikutnya. Keahlian mereka juga sebagai asset untuk melestarikan budaya daerah, khususnya budaya suku Dayak.

Tidak ada komentar: