Jumat, 04 April 2008

Monterado “Tempoe Doloe” (4)


*Sambas Sebagai Pusat Pemerintahan


Belum sampai satu mil memasuki sungai, tiba-tiba mereka mendengar suara perahu yang mendekat. Dari suara dayung yang ramai, mereka yakin perahu itu berawak banyak. Sebagai lazimnya sungai-sungai besar seperti ini setiap orang yang di jumpai dianggap musuh. Mereka segera berhenti mendayung serta cepat meluncur dibawah bayangan di tepi sungai.

Borneo Tribune, Singkawang
Dua belas Maret 1834 keesokan harinya, pada siang hari Earl turun ke Sekoci bersama dengan seorang kerani (juru tulis) China dan empat orang menuju Sambas dengan maksud untuk membereskan masalah tugas dengan residen Belanda.

Aliran sungai Sambas luar biasa besar dan Earl yakin atas prospek negeri tersebut dengan perairan yang begitu bernilai. Sesudah memasuki sungai itu, suatu jangkauan yang lurus terbentang di hadapannya selebar tiga mil yang seakan merupakan suatu terusan antara daratan. Sedangkan panjangnya tak mungkin diukur dengan pandangan mata. Tepi-tepi sungai tertutup oleh batang-batang kayu yang rimbun dan tak satu pun rumah kelihatan. Tidak sejengkal tanah pun yang sudah diolah, bahkan tidak seekor hewan pun yang kelihatan dapat mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian. Suatu keheningan yang mencekam suasana, kecuali hanya bunyi dayung sekoci.

Di kala senja, Earl terbangun dalam suasana yang terasa tidak menggembirakan. Malam mulai turun, sedangkan masih harus dicapai jarak sejauh dua puluh mil untuk sampai di kediaman penduduk, belum lagi mereka harus berbelok memasuki anak sungai sejauh empat belas mil dari muara. Ketika di Sinkawan hanya di beri petunjuk secara umum oleh penduduk Melayu tentang Rute yang harus di tempuh karena kemungkinan untuk tersesat dapat saja terjadi.

Pukul sepuluh malam, rombongan Earl memesuki sebatang anak sungai yang lebarnya lebih kurang seratus yard, dan diperkirakan Sambas terletak di tepi sungai tersebut. Belum sampai satu mil memasuki sungai, tiba-tiba mereka mendengar suara perahu yang mendekat. Dari suara dayung yang ramai, mereka yakin perahu itu berawak banyak. Sebagai lazimnya sungai-sungai besar seperti ini setiap orang yang di jumpai dianggap musuh. Mereka segera berhenti mendayung serta cepat meluncur dibawah bayangan di tepi sungai. Perahu yang tak dikenal itu tetap melaju ke hilir di tengah sungai yang deras. Selanjutnya Dalam perjalanan tak ada hal-hal yang istimewa yang mengganggu, selain binatang-binatang besar tatkala melintas di tepi sungai. Dari suara yg aneh dan khas, anak buah Earl menyimpulkan suara itu suara orang utan. Apapun ia yang pasti memiliki kekuatan yng besar dan tenaga lur biasa. Sebatang pohon di tepi sungai dengan mudah diobrak-abriknya sehingga porak poranda. Untuk saat itu masih tredengar suara dengusnya namun tidak mengikuti kepergian mereka.
Esok harinya ketika fajar menyingsing Earl tiba di Sambas. Rasa senang,lega dan puas meliputi seluruh anggota rombongan. Meskipun secara non stop berdayung hampir selama tujuh belas jam namun tidak terasa lelah.

Setibanya di kota Sambas, Earl segera menjumpai tuan Rumswinkle, residen Belanda di kota itu. Dijelaskan olehnya bahwa peraturan dan ketentuan pemerintah Belanda di Batavia tak mengijinkan Earl untuk mengadakan hubungan dagang dengan Cina di wilayah Sinkawan. Namun menurut residen ia akan berusaha membantu sedapat mungkin asal kapal Stamford dibawa ke Sambas. Saat itu pelabuhan Sambas baru saja dibuka untuk semua kapal dengan bendera apapun. Untuk itulah maka Earl menugaskan kerani Cina untuk mengadakan survey dan penelitian yang mendalam tentang keadaan pasar. Ternyata sekembalinya ia memberikan laporan yang sangat positif dan prospek yang penuh harapan sehingga Earl memutuskan putuskan untuk membawa kapal Stamford ke Sambas.

Jam enam petang, Earl meninggalkan Sambas dengan sebuah Yacht kecil milik tuan Rumswinkle. Tiba di muara sungai petang harinya tanggal 12 Maret. Baru keesokan harinya mereka menyusuri sungai Sambas dan bermalam di muara anak sungai. Keesokan harinya lagi, baru perjalanan di lanjutkan kembali.

Dalam perjalanan nampak dedaunan di tepi sungai yang berjarak pandang kira-kira lima puluh yard bergerak-gerak secara teratus. Ternyata beberapa buah kano kecil dengan sejuamlah orang didalamnya mencoba menyembunyikan diri. Rupanya mereka adalah suku Dayak yang kadang-kdang turun ke hilir untuk menangkap ikan. Dua diantaranya berhasil diyakinkan dan dibujuk untuk naik ke papal. Dari gerak gerik mereka, Earl berkesimpulan mereka belum pernah bertemu dengan orang Barat tetapi sikap perilaku mereka sangat sopan dan tertib.

Saat mereka akan kembali ke kano, Earl bekali masing-masing dengan tembakau yang sangat mereka gemari. Sepatah dua patah bahasa Melayu mereka ucapkan.Tatkala tuan Rumswinkil menyusul mereka dari Sambas, menyatakan bahwa Earl sangat beruntung dapat bertemu dengan mereka karena ia pun belum pernah bertemu dengan suku Dyak dalam jumlah kecil dan secara bebas jauh menghilir ke sungai dengan kano-kano mereka dalam ukuran panjang kurang lebih sepuluh kaki. Terbuat dari hanya satu batang kayu dan hanya digunakan untuk melintasi aliran sungai yang deras di pedalaman. (bersambung)

Tidak ada komentar: