Jumat, 04 April 2008

Monterado "Tempoe Doloe" (3)

*Rumah Kayu, Perempuan Dayak Yang Memikat

Beberapa diantaranya tampak cantik dan manis serta penuh daya pikat, meskipun ditempatkan di Eropa sekalipun. Raut muka perempuan Dayak mirip dengan Melayu, namun kebanyakan lebih terang warna kulitnya, bahkan banyak yang lebih bersih dari perempuan-perempuan China. Sedang beberapa diantaranya dengan muka kemerahan diterpa matahari sehingga lebih manis.

Borneo Tribune, Singkawang
Hasil pengamatan G. Earl, pada tahun 1834, Kota Sinkawan hanya terdiri dari sebuah jalan dengan rumah-rumah kayu yang rendah. Ruanga depan dipergunakan sebagai warung tempat berjualan gandum, daging, barang-barang makanan dan minuman, atau ruangan-ruangan yang disediakan untuk menghisap candu.

Rumah Kung Se sendiri terpisah dari kota, terdiri dari sebuah ruangan yang luas untuk transaksi urusan umum dan perniagaan, serta beberapa ruangan yang lebih kecil untuk keluarga dan Kung Se sendiri. Kediaman Kung Se dilingkari oleh dinding tanah dengan halamn berumput yang bersih. Sebuah gerbang menghadap ke kota yang didekatnya ditempatkan meriam-meriam putar, yang masing-masing dapat memuntahkan peluru seberat satu pound.

Penduduknya hampir keseluruhan China, terkecuali beberapa orang melayu. Saat itu kota hampir kosong dari laki-laki karena semua pergi ke kediaman Kung Se dan sementara itu toko atau warung hanya dijaga oleh perempuan yang sebagian besar orang China.

Meskipun Dayak merupakan mayoritas penduduk asli pulau Borneo, namun kebanyakan bertempat tinggal di pedalaman. Perempuan-perempuan Dayak hanya satu dua yang tinggal di Kota Sinkawan dan nampak agak heran melihat orang-orang Eropa. Mungkin satu dua orang yang pernah melihat namun karena sifat pemalunya barangkali yang menyebabkan tak dapat menyembunyikan keheranan mereka.

Beberapa diantaranya tampak cantik dan manis serta penuh daya pikat, meskipun ditempatkan di Eropa sekalipun. Raut muka perempuan Dayak mirip dengan Melayu, namun kebanyakan lebih terang warna kulitnya, bahkan banyak yang lebih bersih dari perempuan-perempuan China. Sedang beberapa diantaranya dengan muka kemerahan diterpa matahari sehingga lebih manis.

Earl mengaku belum pernah melihat suku-suku lain yang mempunyai perempuan secantik dan semanis Dayak. Hanya dua orang lelaki Dayak yang dijumpai Earl, dan salah seorang darinya dapat berbahasa Melayu. Ketika Earl mengajukan pertanyaan, Earl tidak berhasil medapatkan jawaban sepatah kata pun.
Sebelum bertemua dengan Dayak, Earl hanya mendengar bahwa orang Dayak merupakan orang terasing, keras, serta kejam. Namun ketika berjumpa di Sinkawan, Earl sangat terkejut karena Dayak tersebut begitu sopan dan menarik dalam pembawaannya.

Setelah melakukan pengamatan. Earl kembali ke rumah Kung Se. Ia disambut dengan tembakan meriam tiga kali, sedangkan kemunculan Earl secara mendadak pertama kali tak memungkinkan mereka berbuat serupa. Masih juga terdengar pembicaraan mereka yang sangat bising tetapi segera berhenti dan terdiam ketika Earl memasuki ruangan.

Kung Se kemudian mempersilahkan duduk di kursi besar di hadapannya. Kelihatan bagaimana sulitnya Kung Se memulai pembicaraan dan sekarang barulah jelas bahwa Belanda yang berkuasa penuh dilautan saat itu memblokade semua wilayah pantai dengan efisien. Belanda melarang semua hubungan niaga dengan dunia luar. Khususnya China dilarang untuk berhubungan dengan siapapun terkecuali bila melalui kedudukan mereka di Pontianak atau Sambas. Itu sebabnya Kung Se ragu-ragu untuk membuka pelabuhan karena takut dianggap melanggar peraturan tersebut. Sebenarnya mereka khawatir juga bila hubungan dagang tersebut tidak Aarl lanjutkan karena memang sudah lama didambakan.

Kung Se mengharapkan dengan sangat agar Earl menunggu sampai mereka berhubungan dengan Gubernur China yang bermukim di Monterado sebagai ibu negeri. Letak ibu negeri tersebut terletak sejauh kira-kira tiga puluh lima mil perjalanan yang berakibat bagi Earl tertundanya masalah itu paling sedikit empat hari. Karena keinginan para Kung Se, Earl pun berketetapan untuk ke Sambas dan berusaha untuk membereskan persoalan itu dengan Residen Belanda yang ada di sana.

Earl beserta rombongan meninggalkan rumah Kung Se. kepergian mereka diiringi banyak penduduk. Earl menuju sekoci dan ia diharapkan oleh penduduk agar dapat cepat kembali ke Sinkawan.

Sesampainya di muara, kedalaman air menginjinkan Earl beserta rombongan untuk meneruskan perjalanan ke kapal, dan terpaksa Earl menambatkan pada salah satu dari perahu jelajah sampai air pasang tiba. Salah satu dari perahu-perahu kecil tidak nampak, kemungkinan telah dikirim ke Sambas utuk melaporkan kedatangan Earl di pantai kepada Residen.

Sore hari, Earl berserta rombongan tiba di kapal dan setelah sauh diangkat rombongan dengan kapal Stamford tersebut bertolak ke arah muara sungai Sambas yang terletak kurang lebih dua puluh lima mil sebelah utara Sinkawan. Kira-kira pukul tujuh malam, Earl melintasi sungai Slaku yang ditepinya berada kota Slaku.

Beberapa tahun yang lalu, kota ini pernah mengalami kemajuan perniagaan yang cukup baik namun berakhir dengan adanya serangan malam mendadak oleh suku Dayak, dan hampir sebagian besar penduduknya tewas. Pada tengah malam, Earl tiba di muara sungai Sambas kurang lebih enam mil dari daratan, pada kedalaman lima depa sauh diturunkan. (bersambung)


Tidak ada komentar: