Dakwah menjadi tujuan hidupnya. Ia menjalani aktifitasnya dengan keihlasan, dan hanya karena Allah. Ia percaya, dengan cara itu, aktifitas berjalan lancar. Allah menjadi penentu segalanya, begitu katanya. Tidak ada satu kekuatan pun, bisa menghalangi kehendak Allah.
Lelaki yang satu ini, gaya bicaranya penuh dengan semangat. Nada suaranya turun naik. Sesekali, senyum dan tawa menghiasi. Wajah itu terlihat berseri. “Yang paling berperan dalam perjalanan hidup saya, adalah Allah SWT,” kata anggota Komisi A DPRD Kota Pontianak, Andri Zulfikar. Ia anggota DPRD Kota Pontianak dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Selain Sang Pencipta, Zulfikar menilai, teman seperjuangannya di PKS, yang jadi pendorongnya. Kenapa ia bergabung di sana, karena PKS merupakan partai yang selalu gigih menjalankan syariat Islam. Ini juga partai yang menjadikan Alquran sebagai panutan dan dasar pergerakan.
Zulfikar menganggap, menjadi anggota DPRD amanat dari rakyat. Semua keluhan rakyat yang sampai padanya harus disampaikan. Baginya suka tidak suka, profesi itu harus tetap dijalankan.
Hari itu, kami berbincang di ruangannya, Fraksi PKS di DPRD Kota. Ia duduk di kursi. Di mejanya terdapat laptop. Sambil berbicara dengan saya, sekali-kali tangannya memainkan barang canggih itu. Sejenak ia terdiam. Lalu, suaranya kembali terdengar.
“Hal tersulit di kota ini, saat pemimpinnya sibuk dengan urusan pribadi,” kata Zulfikar.
Ia menilai, sekarang ini, pemimpin lebih banyak mengurus kepentingan pribadi. Selaku pengemban amanah, pemimpin seharusnya lebih mengorbankan waktu untuk rakyatnya.
Zulfikar berpendapat, sebaiknya pemimpin punya banyak waktu tersedia. Apalagi, untuk kota berpenduduk sekitar 600 ribu orang, seperti Kota Pontianak. Pemimpin harus menyediakan waktu sepenuhnya, bagi warga yang dipimpin.
Menurutnya, pemimpin harus mengabdi kepada masyarakat selama 18 jam. Empat jam untuk istirahat, dan dua jam keluarga. Zulfikar mencontohkan mantan presiden Habibie. Menurut Zulfikar, waktu istirahat Habibie hanya dua jam.
Agar waktu efektif, Zulfikar menyarankan, kegiatan dilakukan terarah. Ia punya resep, sebagai seorang pempin, harus berfikir keras, mengerjakan apa yang diamanahkan dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.
Ia menilai, pemimpin di Pontianak kurang berkorban dengan waktu, tidak tegas menegakkan aturan, dan terlalu bertoleransi dengan pelanggar hukum. Sebagai pemimpin yang memegang amanah, sebaiknya penerapan hukum tidak pandang bulu.
“Siapapun dia, baik pejabat atau anggota dewan, apabila terbukti bersalah, harus ditindak tegas,” kata Zulfikar.
Zulfikar memandang, kota ini akan banyak perubahan, jika pemimpin punya ketegasan terhadap pelanggar hukum. Jika tidak memiliki ketegasan dan enggan menerima saran, sebaiknya berhenti saja.
Ketegasan pemimpin sangat berdampak dengan ketenangan suasana kota. Seingat Zulfikar, pada 1980-an, merupakan kenangan tidak terlupakan. Pada zaman itu, segala bentuk kriminalitas, hampir tidak ada. Zaman itu, masyarakat hidup dengan tenteram. Ia mencontohkan, sepeda yang ditinggal di pinggiran jalan, tidak bakal hilang. “Suasana seperti itu, seharusnya dikembalikan,” kata Zulfikar.
Zulfikar berpendapat, meningkatnya angka kriminalitas, juga diakibatkan peningkatan jumlah penduduk. Selain karena bertambahnya angka kelahiran tiap tahunnya, kepadatan penduduk dikarenakan warga pendatang.
Cara mengatasi pertambahan penduduk pendatang, ia mengusulkan, pemerintah harus menyediakan kartu identitas sementara. Kartu itu berisi batas waktu bagi warga pendatang pencari kerja. Batas waktu ditetapkan selama tiga bulan. Bila di atas tiga bulan, pekerjaan tidak didapatkan, warga pendatang tersebut harus pulang.
Bentuk lain ketidaktegasan pemerintah adalah kumuhnya Pasar Sudirman. Ia tidak suka dengan Pasar Sudirman. Padahal, pada era 80-an, pasar tradisional itu bersih dan rapi. Ia tidak menemukan pedagang kaki lima berjualan di trotoar. Sekarang ini, pedagang kaki lima menjamur. Tumpah ruah memenuhi jalan dan trotoar. Anehnya, mereka berdagang di depan toko orang lain. Menurut Zulfikar, berdagang seperti ini, sama juga menzalimi orang lain.
Agar tidak semerawut, Zulfikar mengusulkan pemerintah membuat perencanaan terpadu. Misalnya, jarak antara pedagang satu dengan pedagang lainnya, harus diatur. Perencanaan ini dapat dilakukan, bila pemerintah duduk satu meja dengan para ahli. Seperti, pakar lingkungan, tata kota, pedagang, masyarakat dan semua elemen berkompeten.
“Ini sudah pernah saya usulkan,” kata Zulfikar.
Buruknya karakter pemimpin dan semerawutnya Pasar Sudirman, tidak membuat Zulfikar lupa akan keindahan Sungai Kapuas. Ia merasa tenang bila berada di pinggir sungai terpanjang di Indonesia, ini.
Kedepannya, ia memimpikan sungai itu diatur seperti pinggiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di sana, terdapat water front city. Warga bisa memanfaatkan kota untuk tamasya.
Pontianak sebenarnya ada lokasi serupa. Namanya Alun Sungai Kapuas. Namun, lokasi ini, kurang bisa dimanfaatkan untuk bersantai. Banyak ruko kecil dan pedagang di sana. Menurutnya, pelabuhan Senghie, juga tempat enak untuk bersantai. “Namun sayang, potensi itu belum terkelola dengan maksimal,” kata Zulfidar.
Di Kota Khatulistiwa ini, Zulfikar memiliki kenangan tidak bisa terlupakan. Ceritanya, waktu SMP, ia pernah naik sampan di Kakap. Waktu pergi, sampan yang ia naiki berlayar kencang, karena ikut arus. Pulangnya, sampan berjalan lambat, karena melawan arus.
Dengan kenangan itu, Zulfikar mengharapkan, transportasi melalui sungai, seharusnya dilestarikan. Begitu pun penyeberangan dengan sampan di Sungai Kapuas. Potensi itu, bisa dijadikan aset budaya dan dikembangkan. Namun, memwujudkan itu semua, perlu kejelihan pemimpin daerah.
“Kedepannya, pemimpin harus bisa berfikir maju, dan selalu menciptakan inovasi atau temuan baru,” kata Zulfikar.□
Senin, 11 Februari 2008
Iman dan Taqwa
Diposting oleh Mujidi di 05.20
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar