Minggu, 23 Desember 2007

* Remy Sylado, Hidup Mewah dengan Menulis


"Kalau Menulis itu Menyiksa, untuk Apa Jadi Penulis."
Menulis sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup kata sastrawan Indonesia, Remy Sylado, kepada 22 peserta kursus jurnalisme bernarasi saat berkunjung ke villa miliknya di Kota Bogor, Desember 2007.
“Faktanya dengan menulis saya bisa memilikivilla dan tanah yang cukup luas,” terang Remy.
Peserta kursus yang didampingi Direktur Pantau, Andreas Harsono berangkat dari Jakarta pukul 09.30. Sampai di Bogor pada pukul 10.30. Berdiskusi hingga pukul 12.00. Makan siang, kemudian kembali ke Jakarta pada pukul 13.20. Diskusi bersama Remy tersebut tefokuskan pada suka duka menjadi seorang penulis, serta berbagai pengalaman lain.

Remy mengatakan dirinya suka menulis semenjak SD. Dibandingkan puisi atau karya tulis lainnya, Remy lebih suka menulis drama. Drama mengahruskan penulis untuk dapat menyelami karakter aktor yang akan dimasukkan dalam karangan.
Karena bakat yang dimiliki, pada usia 17 tahun Remy telah menuliskan sebuah buku dan diterbitkan. Katanya, penerbit Gramedia pernah menawarkan untuk menerbitkan buku itu kembali. Akan tetapi Remy menolak.
“Saya malu, tulisan yang jelek seperti itu kok ingin diterbitkan lagi,” ujar Remy.
Karena hobinya menulis itu, Remy mengatakan karangannya telah lebih dari seratus buku. Dan saat ini ia sedang mengerjakan proyek menulis novel yang berisikan kepahlawan Pangeran Diponegoro. Penulisan novel tersebut, Remy dibayar sebesar 50 juta rupiah, untuk satu jilid. Direncanakan novel tersebut ada lima atau enam jilid.
“Bayaran itu belum termasuk royalti,” ujar Remy.
Selama menjadi penulis, Remy mengatakan dirinya berpandangan tulisannya tersebut untuk para pembaca. Kiranya sebelum diterbitkan, para pembaca mengetahui cerita dari tulisannya. Maka untuk apa dia menulis.
Kata Remy, sebaiknya tulisan yang dihasilkan dapat menambah pengetahuan atau intelektual pembaca. Satu diantaranya pengetahuan terhadap kosa kata. Selain itu jadikanlah menulis sebagai hoby. Dengan hal itu, menulis lebih enak dan tidak terpaksa.
“Kalau menulis itu menyiksa, untuk apa jadi penulis,” ujar Remy.
Terkait dengan peluang para penulis muda Remy memandang masih cukup besar. Dengan kecerdasan yang dimiliki, para penulis tersebut dapat mengalahkan para penulis yang ada. Cuma Remy menyayangkan, penulis mudah banyak menyatakan ketidakmampuan sebelum mencoba. Lebih dekat lagi, ketidakmampuan itu karena ketidakinginan untuk menulis.
Dalam diskusi itu, Remy tampil dengan baju bergaris merah. Wajahnya putih, begitu juga dengan rambutnya. Ia duduk bersilah di belakang meja menghadap para peserta. Lukisan terpajang di setiap sudut villa miliknya yang terletak di Jalan Cikarawang No 22, belakang asrama putra Kampus Darmaga, Bogor. □



Tidak ada komentar: