Selasa, 25 Desember 2007

Selasa Pagi Bersama Oryza

Hari masih gelap. Saya mendengar suara Oryza. “Bangun, sudah pagi, salat subuh belum?” katanya.

Panggilan itu tak membuat saya lekas bangun. Mata masih berat. Antara sadar dan tidak, tubuh saya masih terbaring di atas kasur. Empuk, itulah yang saya rasakan saat merebakan badan di kasur ini lewat tengah malam, Selasa dini hari.

“Bangun, salat, sudah siang tu,” kembali Oryza bersuara.

Kali ini saya beranjak, bantal saya lepaskan. Tirai jendela sedikit saya buka, jam telah menunjukkan pukul 05.20. Saya bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu.
Usai salat, Oryza terlihat telah duduk bersila di samping kasurku. Di hadapannya terdapat laptop dengan layar terbuka. Antara Oryza dan laptop terdapat tip kecil dengan tali headset tersambung pada dua telinga. Oryza lagi sibuk memindahkan hasil rekamannya saat pertemuan pertama dalam kursus Senin lalu.

Arloji pada handphone ku telah leat pukul tuju. Oryza belum lagi beranjak dari tempat duduk. Sesekali ia terlihat menyandarkan badan ke kasur. Sesekali ia juga melunjurkan kaki kanannya. “Capek,” keluhnya

Di balik kesibukan pagi itu, saya dengan Oryza terkadang terlibat perbincangan hangat. Isu senter yang diangkat masing-masing media daerah hingga materi kursus yang telah diterima. Termasuk idealisme seorang wartawan.

Sekitar pukul 09.00 Oriza menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas mandi. Sesuai dengan kesepakatan, saya dan Oryza berniat pergi ke kantor Pantau. Sekitar pukul 09.30 kami meninggalkan rumah kos.


Saya kenal Oryza, Minggu sore. Ia menjadi salah satu peserta kursus jurnalis sastrawi angkatan XIV yang digelar Yayasan Pantau Jakarta pada 10-21 Desember.

Dayu, seorang staf Pantau, menjadikan Oryza sebagai teman kosku yang terletak di Jalan Kebayoran Lama, dan berjarak kurang lebih 50 meter dari Kantor Pantau. Beberapa hari terakhir,

Oryza saya kenal sebagai orang yang supel, dan nyambung kalau diajak bicara. Mungkin karena pengaruh kerjanya sebagai wartawan media online Kota Jember, Jawa Timur dan sebelumnya juga sempat menjadi wartawan media group Jawa Post.

Peria kelahiran 1977 di Situbondo semenjak 2003 mepersunting gadis Jawa Timur, Heni Agustini. Pada Juli 2006, pasnagan ini dikaruniai bayi laki-laki yang kemudian bernama Muhammad Neo Ardyansyah Guerin.




Tidak ada komentar: