Minggu, 23 Desember 2007

Menulis Konflik Bersama Andreas


Azan Ashar usai. Andreas terbangun dari tidurnya di Kantor Pantau yang terletak di jalan Kebayoran Lama, 18 CD. Di situ ada sejumlah karyawan Pantau Seperti Dayu, Fiko, Eva, Rina, Oryza sebagai peserta kursus dan juga saya.
“Ayo siapa yang mau ikut renang?” Tidak ada jawaban, “Muji ikut ndak” Saya memalingkan muka ke arahnya.“Dayu, ikut ndak,” tawar Andreas. “Ayo, siapa mau ikut, saya tunggu.” Satupun staf tidak ada yang bersedia. Dan hanya saya dan Oryza yang menyanggupi. Oryza peserta kursus Jurnalisme Sastrawi XIV dan sebagai wartawan media Online di Kota Jember, Jawa Timur.

Andreas, Oryza dan saya pada Selasa itu menuju lantai dasar. Menyeberagi jalan raya kemudian masuk mobil berpelat Jakarta dengan nomor seri 82815, dan itu itu milik Andreas. Cuaca mendung, awan hitam bergumpal. Hujan barusan turun.

Andreas banyak bicara. Ia mengemukakan permasalahan masing-masing daerah. Aceh, Pontianak, Timor-timur menjadi sorotannya.

Permasalahan perkelahian di Pontianak. Andreas menilai media harus memberitakan apa adanya. Media jangan mempublikasikan hal yang dapat menimbulkan bias. Media harus menyebutkan siapa yang bertikai.

“Liputan Borneo Tribune jelek, saya nilai tidak ubahnya dengan liputan Equtaor dan Pontianak Pos atas kerusuhan yang pernah terjadi,” katanya. Namun, Andreas memandang liputan hari kedua, liputan Borneo Tribune sudah baik.

“Apakah dengan menyebutkan suku yang berkelahi malah akan menyebabkan permasalahan menjadi lebih besar,” tanya Saya.

“Tidak,” sambut Andreas. Dengan pemberitaan yang jelas, aparat kepolisian akan mudah bertindak, dan masyarakat juga akan paham. Tapi kata Anderas, bahasa yang digunakan harus elegan.

15 menit kami lewatkan. Mobil memasuki halaman apartemen Permata Senayan. Beberapa tahun terakhir, Andreas, istri bersama anaknya tinggal disalah satu kamar pada lantai 18.

“Silakan masuk,” ujar Andreas dengan langkah terus kami ikut. Sebuah meja terlihat. Buku dan kerta terlihat menumpuk. Laptop juga ada. Andreas duduk di sebuah kursi putar yang terletak persis didepan meja itu.

“Pulang kursus, saya ingin kalian menjadi baik dalam menulis,” ujar Andreas sambil menunjukkan masing majalah The New Yorker pada saya dan Oryza. Andreas suka majalah asing itu, dan sekaligus berlangganan. The New Yorker pernah Andreas tulis dalam buku Jurnalisme Sastrawi dengan tajuk “Cermin Jakarta, Cermin New York” dengan studi kasus jatuh bangun majalah The New Yorker.

“Majalahnya elegan,” kata Oryza ketika menanggapi pertanyaan Andreas saat meminta komentar kami tentang majalah yang didirikan Harold W. Ross itu.

Andreas tidak luapa dengan tawaran renangnya. 17.30 , saya Aryza dan Andreas turun ke lantai dasar. Skitar 25 meter kami menuju ke belakang apartemen. Ada kolam mandi. Kami duduk di kursi yang melingkari meja berpayung.

“Kalu kalian ingin menulis konflik di suatu daerah, kalian harus paham dengan permalahan konflik di daerah tersebut,” ujar Andreas. Untuk menulis konflik di Kalimantan maka, harus mengetahui permaslahan yang pernah terjadi pada tahun 1967-1968, kemudian kejadian di tahun 1997-1998

“Muji tidak bisa nulis bagus tenang konflik apabila tidak mengetahu sejarah konflik itu,” jelas Andreas sambil melepaskan kacamata menisnya pada saya.

Azan Magrib terdengan lantang dari corong masjid yang saya lihat tidah jauh dari partemen. Andreas menawarkan salat dan bergegas kembali ke kamar 18 untuk mengambil sajadah.

Usai Salat, saya kembali ke kursi semula. Oryza lagi asyik dengan The New Yorker. Andreas berenang bersama dengan anaknya Norman. Andreas selasai mandi. Kami kembali ke kamar.

“Muji harus baca ini” ujar Andreas yang telah berpakaiam rapi. Ia menunjukan dua buah buku berbahasa inggris. Satu diantaranya In The Time of Madnes yang ditulis Ricard Iloyd Party. Walau saya agak sulit berbahasa inggis, saya mengetahui buku itu memuat kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan Barat.

Oleh Andreas, saya diizinkan untuk membawa dan me moto kopy. Saya merasa lapar, dan Andreas juga merasakan. Ia mengajak kami ke pasar Palmerah dan menyantap sate ayam. Dalam satu jam, masing-masing kami telah menghabis porsi yang dipesan. Saat menyantap, sate bakar Madura itu, Andreas kembali mendominasi pembicaraa. Satu perkataan yang saya ingat.

“Sebelum menulis tentang konflik, kalian harus membaca”

Malam semakin larut. Wajah andreas sayu, matanya merah.

“Terima kasih sudah mau ngobrol dengan orang tua tidak karu-karuan ini,” ujar Andreas sambil mengulurkan tangan tuk bersalam. Saya dan Oryza berpisah dengan Andreas saat nikrolet jurusan Pasar Palmerah yang kami tumpangi berhenti. Andreas melambaikan tangan kanan saat mobil yang tumpangi berlalu. Jam telah menujukkan pukul 20.45.


Tidak ada komentar: