“Selamat sore! apakah besok bisa ketemu pk 11 smbl makan siang? Sabtu saya harus keluar kota selama satu minggu, jadi besk kesempatan terbaik. Slm. Frans”
"Bisa bapak.”
“Oke. Kita bertemu dilantai 3 Mal Taman Anggrek, di resto Little Penang besok pukul 11. agak pagi krn pk 15 sudah ada janji di Bogor. Trims , Frans.
“Dimana pak?”
“Tidak sulit. Ada di Tomang.
Toman merupakan salah satu daerah di Kebun Jeruk, Jakarta Utara.
“Muji ada di Kebayoran Lama,” jelas saya.
“Mgkn lbh gampang ketemu di Blok M, Kebayoran Baru. Jadi lebih dekat untuk anda, kita ketemu pk 11 di coffe shop hotel AMBHARA.
Pembicaaraan itu melalui SMS, mulai pukul 17.00-18.00 Rabu, tanggal 12 yang lalu. Ya Frans, lawan bicara ku. Frans Tshai, nama lengkapnya. Usianya 69 tahun. Ia masih aktif diberbagai organisasi. Di beberapa kartu nama tertulis, ia Pendiri Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK), Deputy Chairman Swiss German University. Ia juga sebagai tenaga pengajar di Lions Club.
Kali pertama, saya bertemu dengan Frans saat ia berkunjung ke Kota Singkawang, September lalu. Ia penasehat Majlis Adat Budaya Tionghoa. Ia kembali berkunjung ke kota “Amoy” itu pada November. Saat yang sama, Singkawang sedang menggelar pemilihan wali kota. Naas. Tanggal 15 Novmber Frans dihakimi 10 pemuda. Wajah Frans lebam. Ia kemudian diamankan. Frans mengatakan, kejadian itu sampai saat ini masih diperoses pihak kepolisian resot Kota Singkawang.
Kamis pukul 09.00 saya meninggalkan kos. Setelah menunggu 15 menit, metro mini jurusan Cidodol-Blok M, lekat dengan angka 78 saya berhentikan. Saya naik. Mobil berjalan sejenak kemudian berhenti. Saya lihat Gema Yuda melintas.
“Ikut yuk,” ajakku.
“Kemana?’ Yuda kembali bertanya.
“Blok M,” jawabku singkat.
Gema setuju. Gema peserta Kursus Jurnaslisme XIV. Ia mahasiswa semester tujuh UNDIP, Semarang.
“Kalau uda sampai di Blok M kita turun kemana,” gema bertanya. Saya bingung. Saya mainkan Hp. Ketakketik.
“Pak kalau sdh sampai di blok M. Muji turun dimana ya?”
“Di stasiun Blok. M. Dari situ sudah dekat skl,” jawaban itu dari Frans.
Saya lega. Maklum baru kali ini saya ke Jakarta. Gema juga begitu. Walau ia mengaku sudah dua kali. Tapi ia juga belum paham. Sekitar 10.00 Saya dan Gema sampai di hotel. Masuk, duduk di sofa berwarna coklat yang diatur rapi di Coffe Shop lantai dasar.
“Pak maf agak awal. Muji skr di Coffe Shop hotel” SMS itu saya kirim ke Frans.
“Silahkan pesan minuman dulu. Saya mungkin tiba pk 10.30,” jawabnya.
10.46, Hp ku berbunyi. “Sudah dekat tapi sgt macet. Inilah Jkt,” Frans kembali sampaikan pesannya.
Tidak ada watu yang terbuang, tepat pukul 11.00 Frans telah memasuki rung lobih. Ia berjalan dengan tegap. Senyum terlihat.
“Maaf terlambat,” kata Frans sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Inilah Jakarta, kalau tidak macet bukan Jakarta namanya,” Frans memperjelas.
Kami bergerak. Merapat. Kemudian duduk di sofa. Di sana ada tiga sofa, tengah, kiri, dan kanan. Ada satu meja. Frans bertanya.
“Di Jakarta ada kegiatan apa?”
“Kami ikut kursus untuk meningkatkan frifesionlitas wartwa,” ujar ku.
“Ini Gema, ia juga ikut kursus. Ia mahasiswa dan UNDIP,” jelasku.
“Ooh…..”
Frans banyak bicara dengan pengalamannya. Saat belajar di Swiss pada tahun 1962, dia bergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia. Frans bersama bersama empat orang temannya diundang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia, KBRI. Di sana dia bertemu Soekarno.
“Kalian bangga jadi orang Indonesia?” tanya Bung Karno pada Frans.
“Bangga. Bangga saya” ujar Frans. Waktu itu orang Eropa sering mengejek Indonesia sebagai negara yang terbelakang.
“Saya bilang, justru itu saya mau bangun,” jelas Frans pada saya.
Besarnya rasa nasionalisme menurut Frans karena apa yang ditanamkan pemerintah terhadap rakyatnya dari tahun 1945-1965. Semangat itu memudar pada zaman orde baru. Pembangunan dibawa komando Suharto itu dilakukan terfokus pada pembangunan fisik.
“Fisk dibangun, Jiwanya kendor,” jelas Frans.
“Terlebih pada zaman reformasi,” tambah Frans.
Persatuan suku dibagun. Akibatnya kerap kali terjadi perang saudara di Indonesia. Antar etnis. Juga agama. Itu terjadi di beberpa daearh. Aceh. Kaltim, Kalbar, Tmur-tmur.
“ Menyedihkan.” Katanya
“Nasionalisme yang harus diperjuangkan,” lanjutnya.
“Saat ini Indonesia membutuhkan pemimpin yang baik.”
“Pemimpin itu bukan pemuka agama. Bukan kepala suku.”
Pemimpin harus berani mengakui kemampuan orang lain. Pemimpin harus mau belajar. Semua orang harus belajar.
“Kalau perlu belajar dari musuh,” katanya.
“Orang kita tak kalah sama orang Bule, kok” tambah Frans.
Frans mencontohkan dirinya. Sebagai yang lahir di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, saat ini ia dipercaya sebagai tenaga pengajar di Lions Club. Di sana ia mengajarkan bagaiman cara memimpin para calon pemimpi. Semua peserta berasal dari seluruh dunia yang dipilih Lions Club.
“Kalau sedikit boleh berbangga, orang Bule belajar sama saya,” ujar Frans sambil mengkerutkan dahi. Frans terkandang menyandar. Terkadang kaki kanan ditimpakkan ke kaki kiri. Kemudian dijatuhkan lagi.
“Ingat yang ada hanya perubahan, sebentar lagi duduk kita akan berpindan ke lestoran untuk makan siang, itu juga perubahan,” tutur Frans mencairkan suasana.
Saya lihat Arloji telah menunjukkan pukul 12.30. Kopy Capucino masing-masing yang kami pesan telah habis. Frans pamit ke kamar kecil. Jujur, perut saya juga lapar.
“Untuk kota Singkawang?” tanyaku pada Frans saat ia duduk kembali di sofa.
Singkawang merupakan derah rawan konflik. Sebagai contoh beberapa kerusuhan yang pernah terjadi pada tahun 1967, 1968,1997, dan kejadian pada 1998. Kota singkawang akan aman apabila sikap memandang suku yang paling, agama yang paling, dapat dihilangkan, dan persatuan akan terbangun.
Frans merasakan adanya perastuan saat bersama MABT Singkawang menyalurkan 500 ton beras ke masyarakat miskin. Beras yang dimuat dalam 23 kontainer, dan diturunkan hingga lewat tengah malam, pukul dua dini hari. Pekerjanya bergaul, ada Tionghia, Melayu, Jawa dan Madura.
“Saya lihat semua suku bisa bersatu,” kata Frans.
Pembicaraan terputus. Frans lapar. Kami pun berpindah ke lestoran. Lokasinya sama, jaraknya hanya 25 meter dari coffe shop lantai dasar tempat kami semula. Kami mesan makanan. Frans dan Gema memesan sop buntut. Saya sop sea food. Bedakan.
Tema tidak berubah. Iseng saya bertanya.
“Bagaimana kalau anda yang memimpin,”
“Wah, jangan,” jawab Frans tertawa.
“Saya sudah tua.”
“Biarkan yang muda.” Katanya.
Pesanan tiba. Kami mulai mengunyah. Kami tetap konsen dengan pembicaraan. Kata Frans, tidak akan ada perubahan apabila tidak berani untuk berubah. Tidak gampang untuk menuju perubahan.
“Singkawang bias berubah bila pemimpinya bisa memimpin dengan baik,” kata Frans kembali menyinggung Singkawang.
“Pemimpin Singkawang yang akan datang harus bisa mengayomi semua suku dan agama,” tegas Frans.
Jam telah menunjukkan pukul 14.00. Frans ada janji untuk ke Bogor pada pukul 15.00. Ia mohon undur diri. Foto bersama di loby menjadi awal perpisaha kami.
“Perubahan itu absolut”, katanya. “ Kalau generasi muda melempem, bangsa ini melempem”. Ia pun berlalu. Salam perpisahan kami langsungkan di pintu masuk hotel AMBHARA.
Keesokan harinya. Jumat pagi. Saya kirimkan pesan singkat.
“Bapak terima kasih atas oborolan kemarin, sebagai wartwan saya memperoleh ilmu dari bapak, Salam.
“Saya senang bisa berbagi penglaman dengan Muji. Perubahn tidak mudah. Tapi ingatah bhw kita harus berani ambil langkah yg benar. Demi masa dpn. Muji saya harapkan dpt menjadi generasi muda yg berani bela kebenaran dn keadilan! Slm, Frans,” Jawab Frans dengan SMS pula.
Minggu, 23 Desember 2007
Nasionalisme, Jamuan Makan Siang ala Frans
Diposting oleh Mujidi di 11.42
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar