Rabu, 20 Juni 2007


PKL dan POL PP

Mujidi
Borneo Tribune, Pontianak



Posisi pedagang kaki lima (PKL) dan Polisi Pamong Praja (Pol PP), seolah saling berhadapan dan berseteru, setiap harinya. Di satu pihak, PKL ingin mencari makan dengan berjualan di pinggir jalan. Di pihak lain, Pol PP ingin menjalankan tugas dengan baik, dan membersihkan jalanan dari kesemrawutan yang diakibatkan keberadaan PKL.

Mencari makan. Itulah alasan pertama, kenapa mereka berjualan di sepanjang jalan raya. Alasan kedua, tak sanggup membeli kios, karena harganya tinggi dan tak terjangkau. Ketiga, di sepanjang jalan raya banyak orang lewat. Sehingga penghasilan lebih tinggi.

Itulah alasan, kenapa pedagang kaki lima (PKL) lebih memilih berdagang di pinggir jalan. Siang itu, Minggu (27/05), saya menemui beberapa pedagang yang setiap hari mangkal, dan berjualan di tepian Jalan A Yani, Pontianak.

Tidak seperti hari biasanya, pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalan itu, tidak begitu ramai. Mereka berjualan agak ke pinggir dari ruas jalan. Tempat jualan mereka tidak begitu kelihatan, karena terlindung oleh pepohonan.

Di sepanjang ruas Jalan A Yani, ada parit di pinggir jalan. Jaraknya sekitar dua meteran dari batas jalan. Nah, bila pedagang ingin berjualan di sepanjang Jalan A Yani, mereka harus di luar parit. Jadi, jaraknya sekitar tiga meteran dari tepi jalan. “Apabila itu dilanggar, satuan Polisi Pamong Praja akan bertindak untuk mengamankan,” kata Sugimin, Kepala Pol PP Kota Pontianak.

Indra, seorang pedagang buah-buahan yang biasa jualan di sana, membenarkan adanya razia terhadap pedagang oleh Pol PP. Baginya, razia pedagang kaki lima di Jalan A Yani, bukan hal baru. Hampir setiap hari, Pol PP melakukan kegiatan tersebut. Namun dia mengakui, seminggu sebelum melakukan razia, Pol PP telah melayangkan surat pemberitahuan pada pedagang.

Terhadap pemberitahuan ini, pedagang menerima dan memakluminya. Namun, mereka tetap saja berjualan di sana. Tak adanya alternatif tempat, membuat pedagang tetap berjualan di sana. Alasan lain, ya, di sana banyak pembeli. Titik.

Razia juga kerap dilakukan secara mendadak, ketika ada kunjungan pejabat dari luar daerah ke Pontianak.

Indra menilai, dalam melakukan razia, Pol PP tidak berbuat kasar padanya. Perlakuan kasar tergantung dari pedagang. Bila pedagang bandel dan tidak mau menghiraukan surat pemberitahuan, Pol PP tidak segan membongkar paksa, dan mengangkut gerobak pedagang. “Selama ini saya menurut saja, jadi tak pernah mendapatkan perlakuan kasar dari Sat Pol PP,” kata Indra.

Indra pedagang buah pepaya dari Desa Kapur. Awalnya, ia berjualan di desanya. Karena tidak laku, ia mencari tempat lain. Pilihannya, jatuh pada Jalan A Yani. Selain strategis, tempat itu banyak orang lewat. Klop untuk berjualan.

Dalam sehari, ia bisa memperoleh uang cukup lumayan. Ya, antara Rp 50-100 ribu. Setelah ada penertiban, pendapatannya menurun hingga 50 persen. “Dalam sehari pendapatan sekitar 25 ribu saja,” kata Indra.

Sekitar dua ratus meter dari Indra jualan, saya bertemu dengan Jo. Dia, pria berusia 18 tahun. Saat saya temui, ia asyik dengan gerobak rokoknya. Tidak jauh beda dengan Indra, untuk menghindari razia, ia memarkirkan gerobaknya melebihi batas parit dan pagar tanah kosong.

Semenjak ada razia dan penertiban, Jo hanya memperoleh 100 ribu rupiah. Pendapatan itu menurun seratus persen. “Sebelum ada penertiban, penghasilan saya bisa mencapai 200 ribu rupiah perhari,” kata Jo.

Lain halnya dengan Yanti. Wanita penjual es teler ini, mengaku pernah berdebat dengan Pol PP. Perdebatan bukan karena tidak adanya surat pemberitahuan, namun perlakuan kurang sopan Pol PP dalam merazia.

“Masa masih ada pembeli, mereka memaksa mengangkat gerobak saya,” kata Yanti.

Namun, semua PKL yang saya temui menyadari, bahwa razia yang dilakukan Pol PP, sesuai aturan. Mereka bekerja sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Sat Pol PP bekerja juga untuk mendapatkan uang

“Walau bagaimana pun, mereka juga bekerja untuk mencari makan dan sesuai dengan aturan,” ungkap Indra.

Di tempat terpisah, Sugimin, kepala Pol PP Kota Pontianak, ketika ditemui di ruang kerjanya, mengatakan, Pol PP bekerja sesuai undang-undang Nomor 32, tentang otonomi daerah. Peraturan itu dijabarkan melalui peraturan pemerintah nomor 32, kemudian diatur melalu Perda No 01 tahun 2005. Dalam Perda itu, Pol PP berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban daerah.

“Jadi, kerja Pol PP bukan hanya menertibkan PKL, tapi banyak hal,” kata Sugimin.

Pol PP berkewajiban membantu semua sektor, menertibkan keamanan dan ketertiban. Baik itu dari kelurahan, kecamatan, dinas hingga Pemkot. Sebelum penertiban, ia menuturkan, segala persoalan teknis harus diselesaikan oleh instansi terkait, yang mengharapkan bantuan tersebut.

Misalnya, kelurahan ingin menertibkan keberadaan PKL di daerahnya yang memenuhi trotoar jalan. Lurah harus memberikan surat pemberitahuan kepada PKL, dan memberi rentang waktu. Apabila hal itu sudah dilakukan, namun PKL masih membandel dan melanggar, maka Pol PP akan turun tangan mengamankan.

Sugimin menuturkan, menertibkan PKL pekerjaan dilematis. Di satu sisi, pihaknya berkewajiban menjaga dan melaksanakan Perda yang ditetapkan. Namun, di sisi lain, pihaknya harus berhadapan dengan pedagang kecil.

Agar penertiban dapat berjalan lancar, ada seni kepemimpinan yang harus dijalankan. PKL tidak serta merta di usir, tapi harus ada pendekatan terlebih dahulu. Dalam melakukan pendekatan, pihaknya tidak dibenarkan bersikap arogan. Ia memberikan toleransi waktu kepada PKL.

Bukan itu saja, ketika melakukan pendekatan, pihaknya terkadang harus mengeluarkan uang sebesar satu juta rupiah. Dana itu diberikan ke PKL, agar PKL menurut dengan peraturan pemerintah.

Selain itu, untuk melakukan penertiban, Pol PP harus memilah. Mana, PKL yang sudah lama berdiri, dan PKL baru. “Bagi mereka yang lama berdiri, kita beri waktu. Yang baru, langsung kita paksa pindah,” kata Sugimin.

Salah satu contoh, PKL di Pasar Sudirman. PKL di sana menjadi bahan pikirannya, karena mereka sudah cukup lama berjualan, dan belum menemukan solusi, tempat yang baru. Untuk PKL di Jalan A. Yani, Sugimin hanya melakukan pembinaan dan pengawasan.

Selama melakukan penertiban, Sugimin menuturkan, musim panen lansat merupakan hal terberat. PKL lebih memilih Jalan A. Yani sebagai tempat jualan. Berdasarkan keterangan PKL, berjualan buah di jalan A. Yani dalam setahun bisa menjual sekitar 75 ton.

Untuk mengatasi PKL buah tersebut, Sugimin mengusulkan, seharusnya pemerintah menentukan lokasi untuk para PKL. Selama ini, lokasi belum disediakan. “Sebaiknya lokasi seperti itu harus ada,” kata Sugimin.□

Tidak ada komentar: