Minggu, 31 Mei 2009

Tarian Narokng dan Tembakan Rantako


Matahari telah naik begitu tinggi. Rumput telah kering dari siraman embun tadi pagi.
Masyarakat keluar rumah, dan bersibuk dengan aktivitasnya masing masing. Mereka begitu ceriah dengan dinaungi langit biru berhiaskan sedikit awan putih.


Suasana ceria itulah yang tergambar di lapangan terbuka di Keluarahan Bagak Sahwah. Sejak pagi, masyarakat berkerumun bersama di sana, di sebuah rumah panjang. Rumah kayu dengan beragam lukisan dan ukiran.

Rumah itu bernama Rumah Parauman Adat (RPA). Rumah ini milik masyarakat adat Dayak Binuo Garatung Singkawang. Masyarakat dari sub adat Dayak Salako. Di rumah itu akan digelar sebuah ritual adat.

“Hari ini kita akan menggelar ritual Ngamau Benih Padi,” kata Ketua Data Binuo Garatungk Singkawang, Simon Takdir.

Dalam adat Dayak Salako, Ritual Ngamau Benih Padi biasa dilakukan pada akhir bulan Mei. Atau satu hari sebelum ritual Ngabayotn, yang dilaksanakan pada tanggal satu bulan Juni.

Nagmau Benih padi bearti menyambut kedatangan benih padi. Benih padi itu akan didoakan olah para pelaku adapt adapt bersama masyarakat agar mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa (Jubata). Untuk didoakan, benih padi itu di bawah ke halaman RPA.

Sebelum penyambutan benih padi (Ngamau Banih Padi), sehari sebelumnya, masyarakat Bino Garatung telah melakukan ritual Ngaap Banih Binuo. Riatual penjembutan benih dari daerah daerah tempat masyarakat dayak bermukim. Rute daerahnya, Mayasopa, Pasar Pakucing, Sendoreng, Rantau, Sibaju, Sagatani, Habang, Sanggau Kulor, Pajintan, Poteng, Taenam, Nyarungkop.

Kemudian semua banih yang telah dijemput itu kemudian dimasukkan dalam Angko. Angko adalah rumah kecil yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benih padi yang telah diperoleh melalui ritual Ngaap Banih Bino. Rumah itu terbuat dari kayu, beratapkan daun.

***
Dari jauh, terlihat belasan orang penari menyelusuri jalan memasuki lapangan tempat RPA didirikan. Langkah kaki berirama bersama liukan tangan yang gemulai. Wajah berhiasan senyuman. Tidak bosan bila dipandang.

Dengan jarak tempuh lebih dari seratus meter. Para penari itu tidak terlihat letih. Padahal para penari itu tidak lagi muda. Bila diterka, umar mereka di atas tiga puluh atau empat puluh tahun. Para pernari itub terdairi dari kaum wanita dan pria.

“Tarian ini oleh kami diberi nama tarian Narokng,” kata Hendri, salah seorang masyarakat dayak yang tegabung dalam Binuo Garatungk.

Tarian Narokng bertujuan untuk mengiringi Angko yang dibawa oleh penari pria. Angko itu kemudian diletakkan di halaman RPA. Di atas RPA, telah bersiap para pemuka adat yang bertugas untuk memanjatkan doa. Di natara orang itu terdapat beberapa barang untuk pemujaan, seperti ayam, arak, tuak, cucur, lemang, dan beberapa barang laiinya.

Belum selesai pemanjatan doa dilakukan, beberapa meter dari lokasi terdengar ledakan. Walau tidak begitu besar, suaranya cukup mengganggu pendengar walau sesaat. Suara itu bersal dari mulut meriam berbentuk kecil yang sengaja dinyalakan.

‘Ledakan itu sebagai petanda bahwa pemanjatan doa telah dilakukan. Itu namanya tembakan Rantako,” kata Hendri lagi.

Dengan suara tembakan Rantako, ritual adapt telah selesai. Dengan acara itu, masyarakat adat optimis dengan musim tangan yang akan datang. Doa terpanjat, dengan harapan, Jubata memberkahi penanaman.

Tidak ada komentar: