Selasa, 01 April 2008

Monterado “Tempoe Doeloe” ( I )

*Awal Dari Perjalanan
Kosa Kata:
Sinkawan = Singkawang
Sungy Ryah = Sungai Raya


Tulisan ini terkait dengan Monterado, Singkawang, Sambas dan beberapa daerah lainnya. Dan diperoleh dari catatan perjalanan Nahkoda Kapal Stamford, George Windsor Earl di tahun 1834. Tahun 2003, tulisan ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh budayawan Kota Singkawang, M. J. Mooridjan



Borneo Tribune, Singkawang

Dua ratus tahun yang lalu, George Windsor Earl, melakukan perjalanan ke pulau Borneo. Ia Nahkoda Kapal Stamford pada Tahun 1834. Perjalanan yang cukup mengesankan tersebut dituliskan dalam bukunya yang berjudul “The Estern Seas.” Kapal Stamford yang dinakodai disewakan oleh pengusaha-pengusaha Cina di Singapura untuk ke Borneo, khususnya Monterado dan Sinkawan yang waktu itu dikuasa Cina dengan maksud untuk menjajaki kemungkinan diadakannya hubungan dagang bilateral dengan Singapura.

G. W Earl pria Inggris yang lahir pada tahun 1805. Selain mahir dalam ilmu pelayaran dia juga banyak tahu tentang sejarah, hukum, dan politik. Karenanya tulisan yang berupa catatan perjalanan ini berisi pandangan dan catatan yang memiliki nilai lebih mengasyikkan.

Pengalaman G. W Earl tahun 1834 tersebut diterbitkan pertama dalam bahasa Belanda tahun 1918 oleh J.B Wolters, Groningin tahun 1932 dialih bahasakan ke bahasa Inggris dan dicetak di tahun 1971 oleh Oxford University Press, kemudian dicetak di Hongkong oleh South China Photo Precess Printing Co.Ltd.

Kemudian pada tahun 2003, buku laporan perjalanan G. W Earl tersebut dialih ke bahasa Indonesia oleh budayawan Kota Singkawang, M.J Mooridjan. Oleh Mooridjan, sengaja buku tersebut diterjemahkan dan hanya sebagian saja yang berkenaan langsung dengan Sinkawan, Moenterado dan Sambas sebagai bacaan ringan, dan dengan harapan dapat menjadi bahan perbandingan serta bayangan Monterado pada dua ratus tahun yang lalu. Oleh Mooridjan, buku yang aslinya setebal 416 halaman tersebut hanya diterjemahkan sebagian saja, tak lebih dari 80 halaman, dan dicetak dalam jumlah yang amat terbatas karena hanya untuk kalangan terbatas.

Menuju ke Tempat Asing

Dalam alih bahasa yang dilakukan Mooridjan, G. W Earl mengawali catatan perjalanannya dengan judul Menuju ke Tempat Asing. Diawal bulan Februari 1834, suatu laporan masuk ke Singapura. Laporan itu berisikan bahwa penduduk dari sebuah koloni China di Pantai Barat Borneo menginginkan hubungan dagang dengan para pengusaha di Singapura terutama Cina. Karena itulah para pengusaha Cina dari Singapura memutuskan untuk mengirimkan ekspidisi dagang ke tempat tersebut dan mempercayakan kepada Earl untuk memimpinnya. Dan tentu saja hal tersebut tidak disia-siakan dan kemudian diterima dengan baik.

Untuk melakukan hubungan dagang tersebut, sebuah papal layar inggris bernama Stamford disewa dan Earl ditunjuk sebagai nahkoda. Cargo yang dimuat dalam kapl itu antara lain, candu, teh dan barang-barang lain yang diharapkan kelak akan dapat ditukar dengan hasil tambang emas yang kononnya banyak terdapat di Borneo.

1 Maret 1834, jam tiga pagi stamford bertolak meninggalkan selat Singapura melalui jalan masuk sébelah timar di dekat pulau Karang Pedra Bianca dan disambut angin kencang dari utara yang memasuki Laut Cina Selatan.

Bagi Earl, Borneo yang dituju merupakan pulau yang masih asing dan gelap. Saat berangkat G. W. Earl juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga perwira kapal yang berkebangsaan Eropa, mengingat kelak bila sampai di tempat tujuan harus meninggalkan kapal untuk ke daratan harus ada perwira kapal yang dapat dipercaya.

Namun saat itu Earl hanya dipuaskan dengan perwira kapal seorang melayu keturunan Portugis. Selain itu, menurut Earl dalam kapalnya terdapat tiga puluh lima orang anak buah kapal dari suku Jawa, delapan Cina yang dua diantaranya adalah penterjemah, penjaga dan penimbang cargo merangkap peneliti emas yang kelak akan diterima.

Dari keterangan sementara yang diperoleh G. W Earl, Belanda memiliki dua settlement yang kecil di pantai barat Borneo terpisah satu sama lain di pinggir dua sungai terpisah Kira-kira sembilan puluh mil, yaitu Pontianak dan Sambas.

Koloni Cina terletak di antara dua tempat tersebut. Pernah sebuah kapal Inggris di tahun 1827 berkunjung ke tempat itu, namun tidak seorang pun yang dapat ditemui guna mendapatkan informasi. Lebih susah lagi nama Sinkawan yang merupakan pelabuhan penting bagi orang-orang cina tidak tercantum dalam peta.

Pulau Tambelan dan Songy Ryah

Petang hari pada tanggal tiga Maret G. W Earl sampai di pulau St. Julien. Dari kejauhan pulau tersebut telah terlihat. Kemudian keesokan harinya, Earl beserta rombongan melintasi ujung paling selatan dari gugusan kepulauan St. Esprit. Pulau-pulau yang terpencar di bagian laut Cina Selatan ini tertutup oleh hutan kayu dan umumnya tanpa penghuni. Kecuali kepulauan Tambelan yang sering kali dikunjungi oleh bajak-bajak laut sebagai tempat persinggahan dari Borneo ke Selat Malaka. Para perompak tersebut ada yang meninggalkan beberapa orang anggotanya guna mengawasi hasil-hasil rompakan dan tawanan-tawanan yang ditangkap.

Menurut G.W Earl, dua orang Cina dalam rombongannya ada yang sudah berusia lanjut dan merupakan pengisap candu yang berat, meskipun sudah dilarang untuk menghisap dalam kapal. Selama dua hari mereka sangat sedih dan nampak sangat lemah bahkan hampir-hampir Earl ingin melarang dua orang cina tesebut untuk tidak menghisap madu.

Namun di hari ke tiga, kedua orang tersebut nampak lebih segar dan Earl baru tahu bahwa cara menghisap candu mereka sudah diganti dengan mengunyah candu tersebut. Nampaknya kebiasaan menghisap candu tak dapat dihilangkan, apakah karena kebetulan mereka berdua Cina asli dan totok kelahiran Tiongkok, sedangkan kelima Cina lainnya kelahiran Malaka yang kebetulan dalam rombongan tersebut tak seorang pun punya kebiasaan menghisap candu.

Tujuh Maret siang hari, Earl dan rombongannya melihat kepalauan Lamakutan. Kepulauan itulah yang mereka tuju. Tak lama kemudian pun mereka membuang jangkar dan hari pun sudah menjelang petang. Dari Lamakutan itulah Earl dan rombongan berharap, mudah-mudahan Sinkawan yang dituju semakin dekat.

Keesokan harinya, disaat matahari mulai terbit, Earl beserta rombongan mulai turun ke darat menuju arah pantai dan teluk untuk memastikan apakah ada tanda-tanda kehidupan di pulau itu. Namun tak sedikitpun tanda-tanda kehidupan dan mahluk hidup, seperti manusia yang muncul. Tak ada pondok, perahu atau sesuatu yang menunjuk ke arah sana. Teluk yang didarati Earl tertutup hampir seluruhnya oleh gundukan tanah yang makin ke darat semakin meninggi. Waktu itu, Earl menggambarkan seolah olah mereka berada di sebuah danau di pedalaman dalam ketenangan air.

Salah seorang Cina dan seorang tukang kayu Jawa yang katanya pernah berkunjung ke Sinkawan tak dapat memberikan informasi yang jelas di mana letak Sinkawan. Ketika rombongan Earl masuk ke muara dengan sekoci dan awak yang dipersenjatai, bersama dengan dua orang penterjemah untuk memastikan adanya kehidupan, namun tetap sia-sia.

Karena pendaratan yang dilakukan tidak ada hasil, keesokan harinya Earl beserta rombongannya kembali melanjutkan perjalanan kembali dan tetap menyusuri pantai untuk kemudian sampailah mereka pada sebuah muara sungai yang cukup besar. Earl memperkirakan jarak dari kapal berlabuh ke muara tersebut diperkirakan dekat, ternyata cukup jauh hampir dua mil. Ketika mereka memasuki muara dengan sekoci dan lengkap dengan anak buah kapal seperti pendaratan sebelumnya terasa sangat mengasyikkan.

Tepian sungai yang dilalui tersebut terasa sangat sempit dengan dahan-dahan perpohonan di kanan kiri, seakan-akan saling berangkulan satu sama lainnya. Dua ekor buaya dengan panjang lebih kurang lima kaki yang sedang berbaring terkejut melewati sekoci mereka. Salah satu diantaranya langsung terjun ke sungai menerobos ke air dekat sekoci.

Kira-kira seratus yard dari muara sungai, ketika Earl dam rombongan masuk dipasang barikade tonggak-tonggak kayu selebar sungai menahan perjalanan, namun di tengah-tengah terdapat ruang selebar hampir empat kaki memberikan ruang untuk dilalui. Merskipun demikian hampir diperlukan waktu setengah jam untuk lebih leluasa bagi sekoci untuk melewatinya. Tak berapa jauh, masih terlihat bekas-bekas brikade dengan tumpukan-tumpukan lumpur dan tanah menyerupai pertahanan di dalamnya. Dapat diduga bahwa di situlah tempat pertahanan untuk menghalangi masuknya orang atau pendatang asing.

Dalam perjalanannya, Ear berserta rombongan disambut beberapa ekor monyet berwarna sawo mateng. Monyet-monyet tersebut turun dari puncak pohon sambil berteriak memekakkan telinga. Semakin dicoba untuk dihalau, maka semakin lantang teriakan monyet tersebut.

Setelah ke hulu sungai, kira-kira sejauh dua mil dijumpai sebuah pondok yang dihuni oleh dua orang Cina yang sedang memasak air laut untuk membuat garam. Mereka gempar kerena kemunculan Earl beserta rombongan yang tiba-tiba. Namun orang Cina tersebut kembali tenang setelah mendapatkan penjelasan penterjemah yang ikut serta. Dua Cina tersebut akhirnya menjelaskan bahwa sungai yang dilalui tersebut bernama Songy Ryah, dan Sinkawan yang dituju menurut mereka masih lima belas mil menyusuri pantai untuk kemudian masuk ke muara sungai serupa dengan Songy Ryah. Kata Cina tersebut, Sinkawan terletak di tepian sungai membelakangi gunung dan menghadap ke laut. (bersambung)



Tidak ada komentar: