Minggu, 23 Maret 2008

Ada Naga di Keramik

Borneo Tribune, Singkawang

Awal Maret yang lalu, saya bersama seorang teman, Adi, menjajaki salah satu pusat kerajinan tangan di Kelurahan Sedau Kota Singkawang. Letaknya kurang lebih dua ratus meter dari Jalan Raya Utama Sedau. Perusahaan kerajinan tangan tersebut menggeluti pembuatan bata dan keramik Kota Singkawang. Dan itu tercermin dari pagar bangunan. Semua terdiri dari ratusan keramik dan bata.Berbaris rapi.

Setelah mendapatkan izin dari yang empunya, kami pun masuk dalam lokasi pembuatan. Di sana ada dua bangunan besar tanpa dinding. Atap terbuat dari daun sagu ataupun nipa. Tanpa lantai, hanya hamparan tanah liat yang menjadi alas.

Dua bangunan tersebut mempunyai fungsi masing-masing. Bangunan pertama dijadikan sebagai pusat pembuatan bata. Tidak heran bila bangunan itu berisikan ratusan bahkan ribuan bata yang terbuat dari tanah liat. Dikeringkan pada lemari dan meja-meja penyimpanan. Bila sampai pada waktunya, bata dan keramik itu akan dipanaskan pada tungku pemanggang.

Untuk mengerjakan bata-bata tersebut, ada puluhan orang dipekerjakan. Namun sayang saat itu keramaian kerja tidak kami rasakan, hanya dua sampai tiga orang yang terlihat. Ya wajar saja, karena kami berkunjung saat jam istirahat.

Langka kaki kami lanjutkan pada bangunan kedua. Model bangunannya tidak beda. Tidak berdinding, beratap daun, dan berlantaikan tanah. Bangunan ini menjadi pusat pembuatan keramik. Saat memasuki lokasi, kami disambut lebih dari lima pekerja. Semua sibuk dengan beragam jenis keramik. Keahlian masing-masing terlihat, ada yang hanya membuat badan, ada yang membuat ukiran, ada yang membakar, dan ada yang memberikan warna untuk memperindah.

Setelah melihat dan mengarahkan lensa kamera dan menjepretkannya pada para pekerja yang ada, langka kaki pun kami hentikan pada dua orang laki-laki. Mereka tidak begitu tua, umurnya diperkirakan masih di bawah tiga puluh dan empat puluh tahun.

Dua laki-laki itu duduk santai di atas tanah. Adapun alas hanya potongan kayu berukuran pendek. Masing-masing laki-laki menghadapi keramik. Tangan tidak diam. Membuat ukiran naga menjadi pekerjaan rutin mereka. Saat kami mendekati, tatapan bersahabat kami rasakan. Senyum mereka lontarkan. Obrolan dimulai. Bahasa gado-gado antara Sambas, Indonesia berbaur Jawa digunakan.

"Sibuk ke bang," saya membuka pembicaraan. Walau agak celemotan, untuk mengakrabkan diri basa Sambas pun saya gunakan. Keduanya menoleh sejenak, senyum terlihat, kemudian berkata "Aok." Saya gembira, karena perjumpaan siang yang panas pada kala itu diawali dengan keramahan.

Dua laki-laki itu kembali sibuk dengan ratusan keramik yang telah berbaris rapi. Kerja mereka lanjutkan, gerakan tangan membuat ukiran di keramik mereka lakukan. Walau berbicara, konsentrasi dua pekerja itu tidak buyar. Sesuai dengan keahlian yang dimiliki, dua laki-laki itu setiap harinya dipercaya sebagai pembuat ukiran.

"Inilah pekerjaan kami setiap hari nye," ujar satu di antara mereka. Juga dengan Sambas.

Karena keahlian yang dimiliki, setiap harinya kedua masing-masing pekerja itu bisa mengukir pada empat sampai lima keramik. Tidak hanya satu, jenis ukiran beragam tergantung dengan para pemesan. Namun ukiran nagalah yang kerap kali mereka buat.

"Naga, ukiran khas keramik Kota Singkawang," kata mereka.

Ukiran naga dibuat dengan menempelkan tanah liat baru yang telah dikelola pada keramik. Tempelan dipasang meliuk, atau sesuai dengan selera yang diinginkan. Ukiran kemudian diawali dengan membuat ekor naga, hingga ke kepala. Agar terlihat indah, naga tersebut dilengkapi dengan sisik, kaki. Naga menganga, seakan menggambarkan siap menerkam mangsa. Naga itu bertaring, matanya bundar, menggambarkan kebuasan.

"Kami membuat satu ukiran selama dua jam, tapi terkadang lebih, tergantung jenis dari ukiran yang akan dibuat," kata para pekerja itu.

Pekerjaan dua laki-laki itu sempat terhenti karena bunyi lonceng besi yang sengaja dipukul. Keduanya kemudian bergegas pergi dengan membawa gelas yang sejak awal terletak di sekitar tempat duduk mereka. Kini, mereka kembali dengan gelas berisikan air kopi. Dihirup kemudian pekerjaan dilanjutkan.

"Setiap jam satu kami mendapatkan jatah minum kopi," kata salah seorang dari mereka. Saya tersadar, ternyata sudah satu jam saya berada di lokasi pembuatan keramik. Saya belum puas, karena waktu itu saya rasakan sangat singkat untuk menyaksikan pembuatan keramik itu.



Oh ya, karena asyik menyaksikan pembuatan keramik, kedua laki-laki itu kami kenal dua jam kemudian. Namanya Radiman dan Aket. Radiman berdarah Jawa, namun dia dilahirkan di Kota Singkawang sejak 41 tahun yang lalu. Saat mengobrol, Radiman dapat menggunakan tiga bahasa, terkadang Jawa, Sambas, dan Bahasa Indonesia.

Radiman mengaku, bekerja di perusahaan keramik telah digelutinya sejak berusia 20 tahun. Karena keahlian yang dimiliki, Radiman dipercaya untuk membuat ukiran. Dalam satu hari, Radiman mampu menyelesaikan empat sampai lima keramik.

"Kui kalau mud, kalau enggak paling tiga," ujar Radiman dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa. Saya paham yang ia katakan. Dan saya juga paham ternyata dalam membuat ukiran tersebut tergantung dari kondisi jiwa pembuat. Dengan ukiran-ukiran yang telah dibuat, dalam satu bulan Radiman berpenghasilan sabanyak enam ratus ribu hingga tujuh ratus ribu rupiah, bahkan bisa mencapai lebih dari satu juta.

"Nggak bisa dipastikan," kata Radiman.

Di samping Radiman, ada Aket. Walau baru berusia 22 tahun, pria keturunan Tiong Hoa ini telah menikah. Ia asli warga Kota Singkawang, dan tinggal di Kelurahan Sedau. Aket bekerja di keramik baru sepuluh tahun. Sama dengan Radiman, karena keahlian yang dimiliki Aket dipercaya untuk menjadi juru ukir pada perusahaan keramik tersebut.

Tidak satu terasa, saya berada di pembuatan keramik telah tiga jam. Saya masih betah, dan itu juga dirasakan Radiman dan Aket. Karena perhatian pimpinan yang tinggi. Karena tidak ada paksaan dalam bekerja. Keduanya tidak berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain.

"Bos kami baik, mereka tidak pernah marah," kata keduanya.

Sebenarnya saya tidak ingin meninggalkan pembuatan keramik itu. Namun, karena waktu semakin sore, kami memutuskan untuk pamit. Kami dilepas, senyum kembali kami dapatkan. Satu kata terakhir kami lontarkan.

"Terima kasih bang."
"Same-same."
'Sering jak ke sito," sambut dua pekerja itu dengan bahasa sambas. Tanpa berpaling, kami pun berlalu.


Tidak ada komentar: