Kelurahan Benua Melayu Darat. Dilihat dari namanya, orang langsung berasumsi, daerah tersebut didominasi orang Melayu. Pada kenyataan, kelurahan yang memiliki luas 47, 4 meter persegi ini, didiami penduduk Tionghoa dengan jumlah mencapai 70 persen.
Berdasarkan data kantor Kelurahan Bumi Melayu Darat, 2006, dari jumlah penduduk 26.829, jumlah penduduk Tionghoa mencapai 17.646. Penduduk Melayu, hanya sebesar 5. 728.
Awalnya kelurahan Benua Melayu Darat bernama Kampung Benua Melayu. Karena pertumbuhan penduduk, pada 1968-1969, Kampung Benua Melayu dipecah menjadi Kelurahan Bumi Melayu Darat dan Kelurahan Benua Melayu Laut.
Kedua kampung itu memiliki batas geografis. Benua Melayu Laut, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Kapuas, sisi barat berbatasan dengan Kelurahan Benua Melayu Darat. Bagian selatan, berbatasan bengan Kelurahan Bangka Belitung, dan sisi utara berbatasan dengan Parit Besar.
Sementara itu, kelurahan Benua Melayu Darat, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Barat Sekip. Bagian selatan berbatasan dengan Kelurahan Bangka Belitung. Bagian barat berbatasan dengan Parit Tokaya, dan sebelah timur berbatasan dengan Benua Melayu Laut.
Mantan lurah Benua Melayu Darat priode 1995-2000, Sy. Yusuf Usman Husen, saat ditemui di kantor Kelurahan Benua Melayu Darat, Jalan Setia Budi, Selasa (22/05), mengatakan, sebelum 1980-an, 80 % orang Melayu mendiami kelurahan tersebut.
Pada tahun itu, sepanjang Jalan Gajah Mada, Imam Bonjol, Hijas sangat mudah menemukan rumah suku Melayu dengan model rumah panggung. Rumah itu bentuknya panggung dan mempunyai kolong rumah cukup tinggi. Seringkali, anak-anak menggunakan kolong rumah, untuk bermain kelereng.
“Dulu, saya sering main kelereng di bawah rumah,” kata Yusuf.
Seiring berjalannya waktu, di atas tahun 80-an, keberadaan rumah panggung mulai berubah. Gedung bertingkat berpondasi dan bangunan dari semen mulai beridiri di sana. Sebagian besar gedung tersebut, dimanfaatkan untuk berdagang. Yang menepati gedung bukan lagi orang Melayu, orang Tionghoa.
Lalu kemana orang Melayu?
Menurut Yusuf, orang Melayu sejak awal dikenal sebagai suku yang bergelut di bidang pertanian atau perikanan. Mereka kemudian menjual tanah kepada orang Tionghoa sebagai suku pendatang. Setelah itu, orang Melayu pindah ke daerah lain.
Berdasarkan data, 2006, sekitar 1.369 penduduk, termasuk orang Melayu, bekerja sebagai buruh. Sementara untuk pedagang, sekitar 1.756, sebagian besar digeluti orang Tionghoa. Dengan berkurangnya jumlah Orang Melayu, hilang pula identitas dan rumah bercirikan Melayu. Yusuf mengatakan, sebenarnya Kampung Benua Melayu, atau pun Benua Melayu Darat, sekarang ini tinggal nama saja.
Rasmiah, Lurah Benua Melayu Darat, mengatakan, berdasarkan data 2006, penduduk Melayu yang mendiami Kelurahan Bumi Melayau Darat, terpusat di beberapa lokasi. Seperti, Gang Swiss, Jalan Hijas, Gang Pagar Alam, Jalan Ketapang dan Gang Baiduri, dengan jumlah penduduk Melayu, sekitar 80-70 persen. Sementara itu, orang Tionghoa, terkonsentrasi di sepanjang Jalan Siam, Gajah Mada, Agus salim, Tanjung Pura dan Hijas.
Untuk mengetahui dimana orang Melayu berdomisili, Rasmiah mengatakan, kediaman orang Melayu berbentuk rumah biasa, sementara rumah Tionghoa bertingkat.
Pernyataan Rasmiah dibenarkan David, AS, ketua RT 1 dan RW 19. Menurutnya, orang Melayu mulai berkurang sejak, 1978. Pria ini mengatakan, perpindahan penduduk dikarenakan faktor ekonomi. Karenanya, mereka memilih menjual tanah. Menurut David, kebanyakan mereka yang membeli tanah adalah orang orang Tionghoa.
Ya, begitulah. Ketika suatu daerah yang mengikat identitas seseorang ditinggalkan, maka hilang pula identitas yang lain.□
Rabu, 13 Februari 2008
Melayu Tinggal Nama
Diposting oleh Mujidi di 04.03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar