Minggu, 23 Desember 2007

Rumput Kehidupan

Pukul tujuh pagi. Rumput masih basah. Seorang ibu berusia lebih dari lima puluh tahun terlihat berjibaku dengan rumput hijau.

Jarak 25 meter dari tempat saya berdiri. Ia berjongkok. Bergerak maju. Sikit-sikit. Kibaskan arit. Satu. crak. Dua. crak. Tiga. crak. Sejumput rumput sudah penuh di tangan. Karung berukuran 50 kilo disampingnya. Saya terusik.


Ibu itu mengarit di lapangan seluas dua puluh lima meter persegi. Samping bangunan tua eks panti jompo. Bangunan itu tidak berfungsi semenjak tahun 1996 yang lalu. Lapangan itu terletak dipinggiran Jalan Pangeran Diponegoro, Kota Singkawang.
“Ngarit sendiri bu? Saya menghampirinya. “Ngarit de,” ujarnya singkat sambil memalingkan wajah sejenak menatapku yang berdiri sekitar dua meter darinya.

Dia Saritan. Dia tinggal di kelurahan Pasiran, Sigkawang Barat. Sarintan mengaku rumput itu untuk dua ekor sapi yang telah dipeliharanya semenjak dua tahun yang lalu. Sapi itu, tabungan.

“Dijual kalau kami perlu uang banyak,” jalas Sarintan.
Sebelum punya sapi sendiri, Sarintan mengaku sempat mengarit untuk sapi orang lain. Hanya sekitar satu tahun, dan Sarintan hanya mendapatkan upah sebesar satu juta setengah.

“Letih dek ngarit untuk orang, lebih baik pelihara sapi sendiri dan diaritkan sendiri,” ujarnya.
“Kok ibu yang ngarit,” tanyaku kembali.
“Kalau ibu ndak ngarit, sapi makan apa,” katanya.
“Anak ibu dimana?” usutku.
“Ndak bisa diharap,” jawab Sarintan Singkat.

Sarintan mempunyai tiga orang anak. Semua sudah pada dewasa. Dua diantaranya telah menikah, dan satunya hanya diam di rumah.

“Suami.”
“Kerja mukul batu,” aku Sarintan. “Hasilnya untuk makan,” jelasnya.
Sarintan bukan asli warga Singkawang. Ia suku Madura. Semenjak tujuh tahun yang lalu ia meninggalkan Jawai, Kabupaten Sambas sejak tahun 1998. Dan dengan bukti KTP, Sarintan menjadi warga kota Amoy itu.

“Ibu ikut milih wali kota kemarin?” “Ikutlah dek,” katanya.
Saya lihat arloji pada Hp, telah menunjukkan pukul 8.00. Karung Sarintan telah penuh. Sarintan berkemas. Karung dengan perkiraan berat limabelas kilo diletakkan di atas kepala.

“Pulang dek,”
“Hati-hati bu,” aku menjawab. Dengan langkah sedikit ngambang. Sarintan pun berlalu. Saya melepas dengan pandangan melas. “Kasihan,” bisik ku.















Tidak ada komentar: