Imlek dan Cap Gomeh merupakan suatu paket yang tidak bisa dipisahkan. Ucapan itu mengalir deras dari lisan pria yang duduk di kursi persis di depan saya. Untuk ukuran orang Indonesia, tinggi badannya ideal, tidak terlalu tinggi dan gemuk. Baju batik berwarna merah menyala berpadu putih dan hitam serasi dengan kulitnya yang putih. Senyum selalu tersungging dari bibirnya yang lumayan tipis.">
Ia Hasan Karman, ia menjabat Sebagai Walikota Singkawang, dan baru dilantik tanggal 17 Desember 2007 yang lalu. Ia saya temui di kantornya, Jumat lalu, dengan tujuan untuk mengupas Imlek dan Cagomeh di Kota Singkawang.
Sebagai Warga Kelahiran Kota Singkawang, Hasan Karma punya obsesi yang besar untuk memajukan Kota Singkawang lima tahun kedepadan. Ini terlihat dengan salah satu rumusan program kerjanya yang ingin memajukan parisata di Kota Singkawang, salah satunya melalui event perayaan Imlek dan Cap Gomeh.
“Dengan event itu, kita tarik para tamu dari luar uintuk masuk ke Kota Singkawang,” ujar Hasan Karman.
Untuk menjakan tamu yang datang, dalam rentang waktu lima belas hari antara Imlek dan Cap Gomeh akan disuguhkan bermacam ragam atraksi. Dengan system seperti itu, para pengunjung tidak akan mengalami kebosanan di Kota Singkawang. Dan apabila suskes, kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang para tamu akan datang kembali, dan semakin bertambah.
Dengan banyak datang tamu di Kota Singkawang tidak hanya menguntung pemerintah. Akan tetapi juga berdampak bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Pada perinsipnya, pemerintah hanya menfasilitasi, dan rakyatlah yang menikmati. Sebagai Contoh, dengan datangnya para pengujugn, maka semaki banyak barang sebagai buah tangan yang akan dibeli. Kamar-kamar di hotel akan terisi. Tempat-tempat wisata akan dikunjungi.
***
Banyaknya tamu datang tidak sebanding dengan jumlah penginapan. Berdasarkan riset uyang dia lakukan, sampai saat ini semua kamar hotel dan losmen di Kota Singkawang sudah tersisi penuh. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak turis yang terpaksa menginap di Pontianak.
Mereka berangkat pagi ke Singkawang untuk menyaksikan Capgomeh, setelah itu ke Pontianak untuk menginap di tempat penginapan yang lebih memadai. Mengharap investor segera membangun hotel baru dengan tingkat hunian yang rendah dan hanya ramai pada saat tertentu, jelas tidak layak.
Namun dapat dipertimbangkan rumah, toko, mess atau bangunan kosong yang diubah menjadi tempat penginapan. Untuk mewujudkan ide ini, tentu diperlukan koordinasi dan pengelolaan yang tepat; agen-agen perjalanan dan pariwisata, serta pusat-pusat informasi harus dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi alternatif ini.
Tahun 1980-an, Hasan Karman pernah menyaksikan dan ikut merasakan menginap di rumah masyarakat Tengger di daerah Gunung Bromo, Jawa Timur, ketika menyaksikan perayaan Kasodo, dimana penduduk Tengger melakukan upacara sesajen kepada sesembahan yang dipercaya sebagai penunggu gunung berapi di sana. Pagi-pagi pemilik rumah telah menyiapkan sarapan singkong goreng, jagung rebus dan kopi panas. Kesan positif ini masih tertanam sampai kini. Harga yang harus dibayar juga tidak memberatkan, dan hal ini tinggal ditawarkan saja. Konon di daerah Garut (Jawa Barat) yang menawarkan wisata alam, juga menyediakan tempat penginapan di rumah-rumah penduduk.
Kita tentu berharap para turis yang datang ke Singkawang menginap lebih lama dan mendatangkan nilai tambah yang lebih besar, karena itu potensi ini jangan dibiarkan lewat begitu saja. Jika sarana perhotelan yang resmi belum cukup tersedia pada saat puncak perayaan, kenapa tidak dipikirkan alternatif ini.
”Hal seperti itu akan kita lakukan, dan mungkin di tahun-tahun yang akan datang akan tetap menjadi alternative untuk menampung para tamu yang datang ke Kota Singkawang,” ujar Hasan.
***
Dalam peretamun yang hanya berlangsung sekitar 15 mentit tersebut, Hasan Karman juga menitipkan dua buah pemikirannya. Dan buah pemikiran tersebut juga pernah ditulis dalam dalam Situs United Singkawang. Buah pikiran tersebut berisikan bagaimana Capgomeh mendatangkan added-value (nilai tambah) kepada masyarakat luas.
”Pertama, penyediaan buah tangan berupa souvernirs dan atau oleh-oleh makanan yang mudah dibawa,” kata Hasan.
Hasan berpandangan hampir semua tempat tujuan wisata maju di dunia, tak pernah ketinggalan dengan pelbagai souvenirs seperti kaos, patung, ukiran dan sebagainya, yang menampilkan nama atau tulisan khas daerah wisata tersebut. Sebagai misal, Singapura dengan pelbagai souvenirs berlogo singa berbadan ikan; Vietnam dengan gambar gadis bertopi caping dengan pakaian khas celana kulot dan baju lengan panjang; Bali dengan gambar puranya dan seterusnya.
Souvenirs khas tersebut sangat sulit, jika tidak mau dikatakan tidak tersedia di Singkawang. Ini menyebabkan turis yang berdatangan pada saat Capgomeh kesulitan membawa oleh-oleh untuk relasi dan handai-taulannya. Sebenarnya barang-barang itu merupakan peluang bisnis yang senantiasa melengkapi industri pariwisata. Masyarakat luas bisa turut menikmati peluang ini dengan membuka kios-kios yang menyediakan kebutuhan para turis itu.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak orang Singkawang yang sukses sebagai pengusaha garment atau konfeksi di Jakarta. Mereka jelas tidak akan berpangku tangan jika peluang ini digarap. Jika ada kaos-kaos bertulisan/bergambar icon-icon tempat kelahirannya, pasti mereka juga turut bangga karena ada rasa memiliki. Janganlah misalnya turis dari Jakarta malah ditawari kaos bertulisan Jakarta, atau turis Hong Kong yang datang ke Singkawang ditawari kaos bertulisan Hardrock Cafe – Hong Kong, mestinya mereka ditawari kaos bertulisan Singkawang dan gambar-gambar khas kota ini.
Hal yang sama juga terjadi pada bidang penyediaan oleh-oleh makanan khas seperti Lempok (dodol durian), Asam Maram (Atapson), Licison, Terasi, Petis, Ikan Jambal Asin, Ebi dan lain-lain. Meski relatif tersedia, namun kemasannya belum dibuat secara menarik, dan ketika musim puncak (peak season) pariwisata, oleh-oleh makanan ini kerapkali tidak tersedia. Pengelolaan yang bagus dan terencana tentu tidak akan menyebabkan kekurangan pasokan ini. Suatu industri yang baik harus menjamin kesinambungan pasokan produk yang dihasilkannya. Untuk itu instansi-instansi terkait yang bertanggungjawab membina harus dapat memberikan penyuluhan dan bantuan pengetahuan, jika perlu permodalan melalui kredit perbankan UKM (Usaha Kecil Menengah).
“Penyediaan buah tangan ini dapat dikembangkan lagi ke produk-produk seperti patung, ukiran, perhiasan dan sebagainya, yang menunjukkan ciri khas daerah ini,” ujar Hasan.
***
“Kedua, tetap membuka usaha atau menyediakan tempat belanja atau restoran dan tempat makan-minum lainnya,” kata Hasan.
Sudah menjadi tradisi hampir semua suku bangsa pada saat perayaan hari besar, mereka tidak membuka usaha, demikian juga pada hari besar atau perayaan tertentu, kebanyakan toko dan tempat makan di Singkawang tutup. Pendatang akan kesulitan untuk belanja dan mencari makanan.
Khusus untuk restoran, meski tetap memasak untuk makan keluarga, bahkan berpesta, namun umumnya mereka tidak membuka usahanya. Agar para turis mendapat kemudahan dan kenyamanan, perlu diupayakan koordinasi agar ada tempat usaha yang tetap buka, demikian juga restoran dan tempat makan-minum lainnya.
“Salah satu unsur penting yang melengkapi keberhasilan pariwisata adalah wisata kuliner (berkenaan dengan makanan).”
Boleh dikatakan setiap tempat wisata yang banyak dikunjungi, pasti tersedia restoran-restoran yang menyajikan hidangan khas lokal atau internasional. Untuk Singkawang, memiliki pelbagai hidangan khas, warung-warung yang menyajikan kopi dan teh serta macam-macam panganan dan sebagainya.
Kekurangan unsur kuliner ini akan membuat suatu daerah wisata menjadi hambar. Tentu bagi pengusahanya sendiri, urusan buka atau tidak buka adalah hak mereka, namun instansi-instansi terkait yang bertanggungjawab atas pariwisata dan unsur-unsur pendukungnya harus sanggup menjamin agar para turis tidak kesulitan memenuhi kebutuhan mereka. Hal yang sama juga sering terjadi di tempat pembuatan keramik khas Singkawang di Sedau, dimana pada saat hari raya tidak ada aktivitas, padahal tempat tersebut merupakan salah satu daya tarik pariwisata.
Bagi Hasan, tidak terlalu dibesar-besarkan jika perayaan Capgomeh Singkawang di masa mendatang dapat disejajarkan dengan peristiwa budaya seperti Ngaben (upacara pembakaran jenazah umat Hindu di Bali), atau semacam Carnaval Rio de Janeiro di Brazil yang sudah dikenal secara internasional.
Masalahnya terletak pada seberapa profesional segenap insan Singkawang menggarap potensi peristiwa budaya yang pernah diberangus pada masa Orde Baru itu. Capgomeh ini merupakan salah satu primadona yang dapat dijual dan diangkat nilai tambahnya, dan dapat menjadi pilot project atau proyek perintis yang akan menjadi lokomotif yang menghela potensi-pontensi lainnya.
Masih banyak event yang bisa diangkat, misalnya musim sembahyang kubur masyarakat Tionghoa atau Chin Min (Qing Ming). Pada saat berlangsungnya musim ini, bukan hanya masyarakat Tionghoa kelahiran Kalimantan Barat saja yang mudik menyembahyangi leluhurnya, namun kerapkali mudiknya mereka disertai oleh anak-cucu yang bukan kelahiran setempat, mereka bahkan kadang membawa serta relasi atau handai-taulan yang berasal dari daerah lain.
Kesempatan yang senantiasa terulang setiap tahun ini sebenarnya tidak boleh disia-siakan begitu saja. Janganlah panen rezeki ini hanya dipetik oleh agen tiket dan pengusaha penerbangan, namun hendaknya juga mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat luas. Belum lagi bicara soal perayaan Imlek, atau mudik yang terjadi pada saat Lebaran, atau perayaan Naik Dango dan sebagainya. Semua daya tarik dan potensi wisata yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Kota jangan hanya sebatas wacana, namun harus digarap secara serius dan profesional.
Kota Banjarmasin memiliki Pasar Wadai yang dibuka sore hari selama bulan Ramadhan menjelang buka puasa. Pasar dadakan yang menjaja kue-kue ini seperti semacam festival yang selalu dipadati oleh masyarakat Banjarmasin maupun turis dari luar.
Sebenarnya setiap orang kelahiran Singkawang atau orang luar yang pernah berkunjung bisa menjadi agen atau duta yang dapat mempromosikan Singkawang. Hanya saja Singkawang kekurangan alat untuk melakukan promosi itu. Souvenirs kaos dan lain-lainnya yang penulis maksudkan dalam strategi pertama dalam tulisan ini sebenarnya dapat menjadi alat promosi. Jika kita sering melihat orang memakai kaos bertulisan Hawaii, Hardrock Cafe, Bali, dan sebagainya, lalu kenapa Singkawang tidak menyediakan kaos seperti itu.
Setiap orang yang memakainya di luar Singkawang akan turut mempromosikan Singkawang, disamping itu tentu harus disertai dengan pelbagai promosi lainnya. Beberapa tahun yang lalu, Hasan mengaku pernah pergi ke Vietnam dan membeli beberapa kaos bertulisan Saigon, yaitu nama lama untuk kota Hochiminh City.
“Memang tidak luar biasa, namun kesan bahwa kita pernah mengunjungi tempat tersebut akan tertanam dalam sanubari kita, lebih-lebih lagi jika tempat yang pernah dikunjungi itu menarik dan memberikan kesan yang menyenangkan, maka kita akan menjadi agen atau duta yang menceritakan eksotika tempat tersebut,” jelas Hasan.
Ia Hasan Karman, ia menjabat Sebagai Walikota Singkawang, dan baru dilantik tanggal 17 Desember 2007 yang lalu. Ia saya temui di kantornya, Jumat lalu, dengan tujuan untuk mengupas Imlek dan Cagomeh di Kota Singkawang.
Sebagai Warga Kelahiran Kota Singkawang, Hasan Karma punya obsesi yang besar untuk memajukan Kota Singkawang lima tahun kedepadan. Ini terlihat dengan salah satu rumusan program kerjanya yang ingin memajukan parisata di Kota Singkawang, salah satunya melalui event perayaan Imlek dan Cap Gomeh.
“Dengan event itu, kita tarik para tamu dari luar uintuk masuk ke Kota Singkawang,” ujar Hasan Karman.
Untuk menjakan tamu yang datang, dalam rentang waktu lima belas hari antara Imlek dan Cap Gomeh akan disuguhkan bermacam ragam atraksi. Dengan system seperti itu, para pengunjung tidak akan mengalami kebosanan di Kota Singkawang. Dan apabila suskes, kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang para tamu akan datang kembali, dan semakin bertambah.
Dengan banyak datang tamu di Kota Singkawang tidak hanya menguntung pemerintah. Akan tetapi juga berdampak bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Pada perinsipnya, pemerintah hanya menfasilitasi, dan rakyatlah yang menikmati. Sebagai Contoh, dengan datangnya para pengujugn, maka semaki banyak barang sebagai buah tangan yang akan dibeli. Kamar-kamar di hotel akan terisi. Tempat-tempat wisata akan dikunjungi.
***
Banyaknya tamu datang tidak sebanding dengan jumlah penginapan. Berdasarkan riset uyang dia lakukan, sampai saat ini semua kamar hotel dan losmen di Kota Singkawang sudah tersisi penuh. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak turis yang terpaksa menginap di Pontianak.
Mereka berangkat pagi ke Singkawang untuk menyaksikan Capgomeh, setelah itu ke Pontianak untuk menginap di tempat penginapan yang lebih memadai. Mengharap investor segera membangun hotel baru dengan tingkat hunian yang rendah dan hanya ramai pada saat tertentu, jelas tidak layak.
Namun dapat dipertimbangkan rumah, toko, mess atau bangunan kosong yang diubah menjadi tempat penginapan. Untuk mewujudkan ide ini, tentu diperlukan koordinasi dan pengelolaan yang tepat; agen-agen perjalanan dan pariwisata, serta pusat-pusat informasi harus dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi alternatif ini.
Tahun 1980-an, Hasan Karman pernah menyaksikan dan ikut merasakan menginap di rumah masyarakat Tengger di daerah Gunung Bromo, Jawa Timur, ketika menyaksikan perayaan Kasodo, dimana penduduk Tengger melakukan upacara sesajen kepada sesembahan yang dipercaya sebagai penunggu gunung berapi di sana. Pagi-pagi pemilik rumah telah menyiapkan sarapan singkong goreng, jagung rebus dan kopi panas. Kesan positif ini masih tertanam sampai kini. Harga yang harus dibayar juga tidak memberatkan, dan hal ini tinggal ditawarkan saja. Konon di daerah Garut (Jawa Barat) yang menawarkan wisata alam, juga menyediakan tempat penginapan di rumah-rumah penduduk.
Kita tentu berharap para turis yang datang ke Singkawang menginap lebih lama dan mendatangkan nilai tambah yang lebih besar, karena itu potensi ini jangan dibiarkan lewat begitu saja. Jika sarana perhotelan yang resmi belum cukup tersedia pada saat puncak perayaan, kenapa tidak dipikirkan alternatif ini.
”Hal seperti itu akan kita lakukan, dan mungkin di tahun-tahun yang akan datang akan tetap menjadi alternative untuk menampung para tamu yang datang ke Kota Singkawang,” ujar Hasan.
***
Dalam peretamun yang hanya berlangsung sekitar 15 mentit tersebut, Hasan Karman juga menitipkan dua buah pemikirannya. Dan buah pemikiran tersebut juga pernah ditulis dalam dalam Situs United Singkawang. Buah pikiran tersebut berisikan bagaimana Capgomeh mendatangkan added-value (nilai tambah) kepada masyarakat luas.
”Pertama, penyediaan buah tangan berupa souvernirs dan atau oleh-oleh makanan yang mudah dibawa,” kata Hasan.
Hasan berpandangan hampir semua tempat tujuan wisata maju di dunia, tak pernah ketinggalan dengan pelbagai souvenirs seperti kaos, patung, ukiran dan sebagainya, yang menampilkan nama atau tulisan khas daerah wisata tersebut. Sebagai misal, Singapura dengan pelbagai souvenirs berlogo singa berbadan ikan; Vietnam dengan gambar gadis bertopi caping dengan pakaian khas celana kulot dan baju lengan panjang; Bali dengan gambar puranya dan seterusnya.
Souvenirs khas tersebut sangat sulit, jika tidak mau dikatakan tidak tersedia di Singkawang. Ini menyebabkan turis yang berdatangan pada saat Capgomeh kesulitan membawa oleh-oleh untuk relasi dan handai-taulannya. Sebenarnya barang-barang itu merupakan peluang bisnis yang senantiasa melengkapi industri pariwisata. Masyarakat luas bisa turut menikmati peluang ini dengan membuka kios-kios yang menyediakan kebutuhan para turis itu.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak orang Singkawang yang sukses sebagai pengusaha garment atau konfeksi di Jakarta. Mereka jelas tidak akan berpangku tangan jika peluang ini digarap. Jika ada kaos-kaos bertulisan/bergambar icon-icon tempat kelahirannya, pasti mereka juga turut bangga karena ada rasa memiliki. Janganlah misalnya turis dari Jakarta malah ditawari kaos bertulisan Jakarta, atau turis Hong Kong yang datang ke Singkawang ditawari kaos bertulisan Hardrock Cafe – Hong Kong, mestinya mereka ditawari kaos bertulisan Singkawang dan gambar-gambar khas kota ini.
Hal yang sama juga terjadi pada bidang penyediaan oleh-oleh makanan khas seperti Lempok (dodol durian), Asam Maram (Atapson), Licison, Terasi, Petis, Ikan Jambal Asin, Ebi dan lain-lain. Meski relatif tersedia, namun kemasannya belum dibuat secara menarik, dan ketika musim puncak (peak season) pariwisata, oleh-oleh makanan ini kerapkali tidak tersedia. Pengelolaan yang bagus dan terencana tentu tidak akan menyebabkan kekurangan pasokan ini. Suatu industri yang baik harus menjamin kesinambungan pasokan produk yang dihasilkannya. Untuk itu instansi-instansi terkait yang bertanggungjawab membina harus dapat memberikan penyuluhan dan bantuan pengetahuan, jika perlu permodalan melalui kredit perbankan UKM (Usaha Kecil Menengah).
“Penyediaan buah tangan ini dapat dikembangkan lagi ke produk-produk seperti patung, ukiran, perhiasan dan sebagainya, yang menunjukkan ciri khas daerah ini,” ujar Hasan.
***
“Kedua, tetap membuka usaha atau menyediakan tempat belanja atau restoran dan tempat makan-minum lainnya,” kata Hasan.
Sudah menjadi tradisi hampir semua suku bangsa pada saat perayaan hari besar, mereka tidak membuka usaha, demikian juga pada hari besar atau perayaan tertentu, kebanyakan toko dan tempat makan di Singkawang tutup. Pendatang akan kesulitan untuk belanja dan mencari makanan.
Khusus untuk restoran, meski tetap memasak untuk makan keluarga, bahkan berpesta, namun umumnya mereka tidak membuka usahanya. Agar para turis mendapat kemudahan dan kenyamanan, perlu diupayakan koordinasi agar ada tempat usaha yang tetap buka, demikian juga restoran dan tempat makan-minum lainnya.
“Salah satu unsur penting yang melengkapi keberhasilan pariwisata adalah wisata kuliner (berkenaan dengan makanan).”
Boleh dikatakan setiap tempat wisata yang banyak dikunjungi, pasti tersedia restoran-restoran yang menyajikan hidangan khas lokal atau internasional. Untuk Singkawang, memiliki pelbagai hidangan khas, warung-warung yang menyajikan kopi dan teh serta macam-macam panganan dan sebagainya.
Kekurangan unsur kuliner ini akan membuat suatu daerah wisata menjadi hambar. Tentu bagi pengusahanya sendiri, urusan buka atau tidak buka adalah hak mereka, namun instansi-instansi terkait yang bertanggungjawab atas pariwisata dan unsur-unsur pendukungnya harus sanggup menjamin agar para turis tidak kesulitan memenuhi kebutuhan mereka. Hal yang sama juga sering terjadi di tempat pembuatan keramik khas Singkawang di Sedau, dimana pada saat hari raya tidak ada aktivitas, padahal tempat tersebut merupakan salah satu daya tarik pariwisata.
Bagi Hasan, tidak terlalu dibesar-besarkan jika perayaan Capgomeh Singkawang di masa mendatang dapat disejajarkan dengan peristiwa budaya seperti Ngaben (upacara pembakaran jenazah umat Hindu di Bali), atau semacam Carnaval Rio de Janeiro di Brazil yang sudah dikenal secara internasional.
Masalahnya terletak pada seberapa profesional segenap insan Singkawang menggarap potensi peristiwa budaya yang pernah diberangus pada masa Orde Baru itu. Capgomeh ini merupakan salah satu primadona yang dapat dijual dan diangkat nilai tambahnya, dan dapat menjadi pilot project atau proyek perintis yang akan menjadi lokomotif yang menghela potensi-pontensi lainnya.
Masih banyak event yang bisa diangkat, misalnya musim sembahyang kubur masyarakat Tionghoa atau Chin Min (Qing Ming). Pada saat berlangsungnya musim ini, bukan hanya masyarakat Tionghoa kelahiran Kalimantan Barat saja yang mudik menyembahyangi leluhurnya, namun kerapkali mudiknya mereka disertai oleh anak-cucu yang bukan kelahiran setempat, mereka bahkan kadang membawa serta relasi atau handai-taulan yang berasal dari daerah lain.
Kesempatan yang senantiasa terulang setiap tahun ini sebenarnya tidak boleh disia-siakan begitu saja. Janganlah panen rezeki ini hanya dipetik oleh agen tiket dan pengusaha penerbangan, namun hendaknya juga mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat luas. Belum lagi bicara soal perayaan Imlek, atau mudik yang terjadi pada saat Lebaran, atau perayaan Naik Dango dan sebagainya. Semua daya tarik dan potensi wisata yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Kota jangan hanya sebatas wacana, namun harus digarap secara serius dan profesional.
Kota Banjarmasin memiliki Pasar Wadai yang dibuka sore hari selama bulan Ramadhan menjelang buka puasa. Pasar dadakan yang menjaja kue-kue ini seperti semacam festival yang selalu dipadati oleh masyarakat Banjarmasin maupun turis dari luar.
Sebenarnya setiap orang kelahiran Singkawang atau orang luar yang pernah berkunjung bisa menjadi agen atau duta yang dapat mempromosikan Singkawang. Hanya saja Singkawang kekurangan alat untuk melakukan promosi itu. Souvenirs kaos dan lain-lainnya yang penulis maksudkan dalam strategi pertama dalam tulisan ini sebenarnya dapat menjadi alat promosi. Jika kita sering melihat orang memakai kaos bertulisan Hawaii, Hardrock Cafe, Bali, dan sebagainya, lalu kenapa Singkawang tidak menyediakan kaos seperti itu.
Setiap orang yang memakainya di luar Singkawang akan turut mempromosikan Singkawang, disamping itu tentu harus disertai dengan pelbagai promosi lainnya. Beberapa tahun yang lalu, Hasan mengaku pernah pergi ke Vietnam dan membeli beberapa kaos bertulisan Saigon, yaitu nama lama untuk kota Hochiminh City.
“Memang tidak luar biasa, namun kesan bahwa kita pernah mengunjungi tempat tersebut akan tertanam dalam sanubari kita, lebih-lebih lagi jika tempat yang pernah dikunjungi itu menarik dan memberikan kesan yang menyenangkan, maka kita akan menjadi agen atau duta yang menceritakan eksotika tempat tersebut,” jelas Hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar